Epilepsi adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan kejang epilepsi yang berulang. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, epilepsi menyerang lebih dari 51 juta orang di seluruh dunia, dan sekitar 80% kasus terjadi di negara berkembang. Frekuensi dan kejadian tak terduga dari kejang epilepsi sering kali berdampak besar pada kehidupan pasien, termasuk interaksi sosial, pekerjaan, dan kesehatan mental.
Kejang didefinisikan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh aktivasi neuron yang abnormal, berlebihan, dan sinkron, suatu proses yang dapat diamati dalam elektroensefalogram (EEG).
Kejang epilepsi dapat berkisar dari koma singkat hingga kejang hebat, dan manifestasi dari setiap jenis kejang bervariasi dari orang ke orang. Sekitar 60% kejang epilepsi adalah tonik-klonik, yang melibatkan kontraksi otot tak sadar dan memengaruhi kesadaran. Jenis kejang lainnya, seperti kejang petit mal, biasanya hanya menunjukkan penurunan kesadaran singkat, berlangsung sekitar 10 detik.
Bahkan terkadang, kejang dipicu oleh kejadian tertentu, seperti kilatan cahaya atau suara tiba-tiba, yang disebut epilepsi refleks.
Selain kejang itu sendiri, pasien sering mengalami periode terbangun pascaoperasi, periode transisi kembali ke kesadaran normal. Selama waktu ini, pasien mungkin merasa bingung, lelah, atau bahkan tidak dapat mengingat apa yang baru saja terjadi. Menurut penelitian, 6% hingga 10% orang mengalami kondisi psikotik setelah kejang epilepsi, yang semakin memperburuk beban psikologis pada pasien ini.
Epilepsi memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan sosial. Pasien mungkin mengalami isolasi sosial dan diskriminasi, yang tidak hanya memengaruhi harga diri mereka tetapi juga dapat menyebabkan pencapaian pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih rendah. Gangguan belajar terkait epilepsi sangat umum terjadi pada anak-anak. Pembatasan perekrutan oleh perusahaan dan lembaga bagi penderita epilepsi sering kali membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan.
Tekanan psikologis dan efek pelabelan pada keluarga pasien epilepsi sering kali membuat mereka menanggung beban yang melebihi beban penyakit itu sendiri.
Bagi pasien epilepsi, intervensi medis adalah kunci untuk mengendalikan kondisi tersebut. Obat antiepilepsi efektif dalam mengendalikan kejang sekitar 69% dari waktu. Pada pasien yang tidak merespons pengobatan dengan baik, terapi alternatif seperti pembedahan, perawatan neurostimulasi, dan perubahan pola makan dianggap sebagai pilihan perawatan lebih lanjut. Namun, tidak semua penderita epilepsi memerlukan perawatan sepanjang hidup mereka, dan beberapa dari mereka mungkin akhirnya membaik hingga tidak lagi memerlukan pengobatan.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan dua arah yang kompleks antara epilepsi dan gangguan suasana hati seperti depresi dan kecemasan. Penderita epilepsi sering kali lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental daripada populasi umum karena tantangan hidup dan isolasi sosial mereka yang unik. Adanya masalah kesehatan mental ini dapat semakin memengaruhi frekuensi dan efek pengendalian epilepsi.
Kehidupan pasien epilepsi sering kali merupakan pertempuran psikologis dan fisik, yang mendorong kita untuk berpikir mendalam tentang cara memberikan dukungan yang lebih efektif bagi orang-orang ini.
Seiring dengan semakin mendalamnya pemahaman tentang epilepsi, pemahaman masyarakat tentang penderita epilepsi juga harus berubah. Pekerjaan edukasi dan promosi perlu diperkuat lebih lanjut untuk menghilangkan prasangka sosial dan membantu pasien menjalani kehidupan normal. Baik dalam hal kemajuan medis maupun dukungan sosial, kita harus memikirkan: Apa yang dapat kita lakukan untuk memberi orang-orang ini lebih banyak harapan dan dukungan dalam perjalanan pemulihan yang penuh tantangan ini?