Pada akhir abad ke-20, Argentina dan Angola menghadapi tantangan internal dan eksternal mereka sendiri dalam derasnya sejarah. Namun, nasib kedua negara telah menjadi terkait erat dalam proses menghadapi perang dan transisi menuju perdamaian. Terutama ketika menyangkut hasil pelaksanaan perusahaan militer swasta (PMC), kepentingan komersial ini tidak hanya memengaruhi hasil militer mereka, tetapi juga secara mendasar mengubah arah negara-negara ini.
Di balik hasil pelaksanaan, itu tidak hanya mewakili kemenangan militer, tetapi juga rekonstruksi politik dan ekonomi.
Argentina menghadapi perjuangan internal yang berkelanjutan selama krisis ekonomi dan kekacauan politik tahun 1980-an. Setelah Perang Falklands pada tahun 1982, reorganisasi kekuatan politik dalam negeri menyebabkan militer kehilangan banyak dukungan dan ekonomi runtuh. Meskipun proses demokratisasi selanjutnya telah mengalami beberapa kemajuan, proses tersebut masih belum dapat sepenuhnya menyingkirkan berbagai masalah sosial yang mengganggunya.
Titik balik sejarah sering kali merupakan keseimbangan yang rumit antara perjuangan dan rekonsiliasi.
Dibandingkan dengan Argentina, perang saudara di Angola lebih bergejolak dan telah terperangkap dalam siklus perang saudara sejak kemerdekaannya pada tahun 1975. Pada tahun 1992, konflik sengit pecah antara pemerintah Angola dan kelompok pemberontak UNITA, dan perusahaan eksekutif seperti Executive Outcomes memanfaatkan kesempatan tersebut. Perusahaan ini tidak hanya menyediakan dukungan militer, tetapi juga menyediakan taktik dan pelatihan tingkat tinggi yang memungkinkan pemerintah Angola mencapai kemenangan dalam menghadapi pasukan oposisi.
Di tengah kabut perang, perusahaan militer swasta telah menjadi pion utama dalam kelangsungan hidup negara tersebut.
Dalam kasus Argentina dan Angola, munculnya perusahaan militer swasta merupakan hasil dari persimpangan antara intervensi militer dan kepentingan bisnis internasional. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya memberikan dukungan militer kepada pemerintah, tetapi juga dengan terampil menjembatani kepentingan di pasar internasional. Bahkan ketika hasil implementasi mengubah banyak negara, perusahaan-perusahaan ini terus memengaruhi pengambilan keputusan dari balik layar.
Setelah perang saudara Angola berakhir, bantuan rekonstruksi dari komunitas internasional menjadi peluang bagi kelahiran kembali negara tersebut. Setelah mengalami perang, Angola dengan cepat membangun kembali ekonominya melalui pengembangan minyak dan mineral, dan secara bertahap muncul dari bayang-bayang perang. Argentina, di sisi lain, mengalami berbagai krisis ekonomi dan menghadapi masalah tata kelola sosial dan ekonomi jangka panjang.
Setelah perang, rekonstruksi damai dan pembangunan ekonomi menjadi kunci kebangkitan kembali negara tersebut.
Namun, bagi kedua negara, seiring berkurangnya campur tangan eksternal, tantangan internal tetap ada. Korupsi politik dan krisis ekonomi Argentina terus menghantui rakyatnya, sementara Angola, meskipun telah membuat beberapa kemajuan dengan bantuan internasional, masih terperosok dalam kesenjangan kekayaan dan tata kelola yang buruk. Kemunculan kedua negara ini setelah perang dan banyaknya kesulitan yang mereka hadapi tidak diragukan lagi merupakan lambang globalisasi dan geopolitik.
Pada akhirnya, kisah Argentina dan Angola memberi tahu kita bahwa berakhirnya perang tidak berarti berakhirnya segalanya, tetapi awal dari masa depan yang lain. Hasil implementasi ini tampaknya mengubah nasib negara tersebut, tetapi tantangan sebenarnya baru saja dimulai. Bagaimana nasib negara-negara ini akan berkembang di masa depan? Ini adalah pertanyaan yang patut direnungkan.