Perubahan pada tahun 1960-an: Bagaimana gerakan hak-hak sipil memunculkan niat awal keberagaman perusahaan?

Pada tahun 1960-an, gerakan hak-hak sipil menjadi isu penting dalam masyarakat Amerika dan meletakkan dasar bagi budaya perusahaan yang beragam di masa depan. Dengan disahkannya Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, diskriminasi dilarang oleh hukum di tempat kerja. Dampak dari perubahan ini secara bertahap merambah ke berbagai industri di Amerika Serikat, mendorong perusahaan untuk mulai memikirkan kembali cara merekrut dan mengelola karyawan dari berbagai latar belakang.

Gerakan hak-hak sipil tidak hanya memperjuangkan kesetaraan hukum, tetapi juga membuka jalan bagi perubahan budaya perusahaan.

Seiring dengan dorongan untuk hak yang sama menyebar ke seluruh negeri, banyak perusahaan mulai mengeksplorasi cara menarik dan mempertahankan bakat dari berbagai latar belakang budaya. Terutama perusahaan dengan tujuan yang lebih tinggi mulai menerapkan pelatihan keberagaman. Tujuan awal dari pelatihan ini adalah untuk mendorong interaksi positif antara karyawan dari berbagai latar belakang dan menciptakan peluang untuk keharmonisan di tempat kerja.

Dari perubahan hukum pada tahun 1960-an hingga praktik perusahaan

Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964 melarang pemberi kerja untuk mendiskriminasi karyawan atau pelamar berdasarkan ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, atau asal negara. Disahkannya undang-undang ini tidak hanya memerangi diskriminasi terhadap orang kulit berwarna, tetapi juga mengilhami banyak gerakan sosial di seluruh negeri yang memperjuangkan hak-hak mereka. Setelah undang-undang tersebut disahkan, banyak perusahaan mulai menerima karyawan dari latar belakang sosial yang berbeda, yang mengarah pada pembentukan model manajemen yang beragam secara bertahap.

Kebijakan keberagaman yang baik tidak hanya dapat membawa perusahaan menuju kesuksesan, tetapi juga menciptakan kekuatan untuk perubahan positif dalam masyarakat.

Namun, prosesnya tidak berjalan mulus. Saat itu, banyak perusahaan masih skeptis tentang penerapan keberagaman, karena khawatir perubahan tersebut akan memengaruhi efisiensi bisnis. Pada tahun 1970-an, ketika Mahkamah Agung AS menegaskan kembali definisi diskriminasi dalam Griggs v. Dirk Electric Co., persepsi bisnis berangsur-angsur berubah. Putusan tersebut menyoroti bahwa diskriminasi yang tidak disadari sama-sama tidak dapat diterima, yang selanjutnya mendorong perusahaan untuk menganggap serius komitmen mereka terhadap keberagaman.

Secara bertahap ikuti pelatihan keberagaman rutin perusahaan

Seiring konsep keberagaman merambah lingkungan kerja, banyak perusahaan mulai meluncurkan kursus pelatihan keberagaman mereka sendiri pada akhir tahun 1970-an. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran karyawan tentang keberagaman dan mengurangi potensi bias. Faktanya, pada tahun 1976, 60 persen perusahaan besar menawarkan pelatihan kesempatan yang sama. Bukan hanya keharusan moral bagi perusahaan untuk terlibat dalam pelatihan keberagaman; banyak perusahaan juga berusaha menghindari potensi risiko hukum.

Pelatihan yang beragam bukanlah proses instan, tetapi membutuhkan konsolidasi dan pengembangan berkelanjutan dari waktu ke waktu.

Pada tahun 1980-an, pelatihan keberagaman dalam perusahaan muncul sebagai kekuatan perlawanan baru dalam menghadapi upaya Presiden Ronald Reagan untuk mencabut kebijakan tindakan afirmatif. Sebagian besar pakar menunjukkan bahwa di pasar tenaga kerja, perempuan dan etnis minoritas akan menjadi tenaga kerja utama di masa depan, dan perusahaan mulai mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa mereka tidak terpinggirkan di tempat kerja.

Analisis situasi terkini dan tantangan masa depan

Meskipun perusahaan berinvestasi lebih banyak dalam pelatihan keberagaman dari tahun ke tahun, penelitian menunjukkan bahwa dampak dari pelatihan ini tidak jelas. Sebagian besar pelatihan anti-bias tidak efektif dalam meningkatkan representasi perempuan atau orang kulit berwarna dalam posisi manajemen, menurut pengamatan Frank Dobin, seorang sosiolog di Universitas Harvard. Beberapa penelitian bahkan mempertanyakan bahwa pelatihan keberagaman yang dipaksakan dapat menyebabkan lebih banyak diskriminasi dan stereotip.

Desain pelatihan keberagaman harus berorientasi pada tujuan, terutama ketika perusahaan berharap untuk mencapai tujuan bisnis yang lebih tinggi.

Menurut analisis selama tiga puluh tahun terakhir, sebagian besar perusahaan belum mencapai hasil yang baik ketika menerapkan kebijakan keberagaman. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa representasi kelompok tertentu dalam manajemen justru menurun setelah program keberagaman diterapkan. Menanggapi hasil ini, para ahli menghimbau perusahaan untuk mengevaluasi kembali metode dan konten pelatihan keberagaman mereka guna menghadapi tantangan di masa mendatang.

Dalam iklim sosial saat ini, haruskah perusahaan memikirkan kembali konten dan metode pelatihan keberagaman mereka untuk mendorong perubahan yang lebih nyata?

Trending Knowledge

Temuan yang mengejutkan: Apakah pelatihan keberagaman benar-benar meningkatkan keberagaman manajemen?
Dalam lingkungan bisnis saat ini, di mana keberagaman adalah kuncinya, perusahaan memfokuskan perhatian mereka pada pelatihan keberagaman. Menurut laporan, perusahaan menghabiskan hingga $8 miliar unt
Tahukah Anda bahwa pelatihan keberagaman yang wajib justru dapat memperburuk diskriminasi?
Selama beberapa dekade terakhir, pelatihan keberagaman perusahaan telah menjadi bentuk pelatihan arus utama yang bertujuan untuk mempromosikan interaksi positif antara berbagai kelompok dan mengurangi

Responses