Selama pandemi COVID-19, komunitas ilmiah menemukan korelasi signifikan antara D-dimer, biomarker penting, dan gejala COVID-19. D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Fragmen protein kecil ini hanya akan muncul dalam darah setelah bekuan darah dilarutkan oleh fibrinolisis. Perubahan konsentrasinya dapat digunakan untuk membantu diagnosis gejala trombotik seperti tromboemboli vena, dan menjadi indikator penting untuk menilai kondisi pasien COVID-19.
Perubahan konsentrasi D-dimer dapat membantu staf medis memprediksi kondisi dan kemungkinan komplikasi pada pasien COVID-19.
Pengujian D-dimer digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan bekuan darah, dan pada pasien COVID-19, peningkatan kadar D-dimer menunjukkan potensi komplikasi serius, dengan kadar meningkat lebih dari empat kali lipat dan menjadi indikator prognosis yang buruk bagi pasien yang dirawat di rumah sakit. 1. Artinya, dalam menghadapi tantangan COVID-19, D-dimer bukan hanya alat untuk menyingkirkan trombosis, tetapi juga referensi penting untuk memprediksi perkembangan lesi.
Proses pembentukan D-dimer melibatkan beberapa jalur biologis seperti pembekuan darah dan fibrinolisis. Ketika sistem pembekuan tubuh diaktifkan, protein pembekuan menjadi aktif, yang akhirnya mengarah pada pembentukan bekuan darah. D-dimer dilepaskan ke dalam darah hanya setelah proses fibrinolisis. Kompleksitas proses ini memungkinkan perubahan D-dimer mencerminkan keadaan pembekuan darah dalam tubuh.
Deteksi D-dimer terutama digunakan dalam praktik klinis ketika diduga terjadi trombosis vena dalam, emboli paru, atau koagulasi intravaskular difus. Dokter dapat menggunakan tes D-dimer untuk membantu menilai kondisi pasien. Jika hasil tes D-dimer negatif, kemungkinan trombosis hampir dapat disingkirkan. Sifat ini membuatnya sangat penting dalam penanganan pasien COVID-19, yang lebih rentan terhadap komplikasi seperti pembekuan darah.
Dalam penanganan COVID-19, hasil tes D-dimer dapat memberikan referensi penting untuk pengambilan keputusan medis.
Kisaran normal D-dimer meningkat seiring bertambahnya usia, jadi untuk pasien berusia di atas 50 tahun, nilai referensi yang disarankan adalah usia pasien dikalikan 10 μg/L. Selain itu, hasil positif palsu dan negatif palsu D-dimer dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk penyakit hati, peradangan, kehamilan, dan pembedahan. Hal ini memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan hasil tes dan mempertimbangkan kondisi klinis pasien.
Studi telah menunjukkan bahwa peningkatan kadar D-dimer dapat dikaitkan dengan kasus COVID-19 yang parah. Hal ini menjadikan tes D-dimer sebagai alat yang sederhana dan efektif untuk mengevaluasi kondisi pasien. Seiring dengan semakin mendalamnya pemahaman kita tentang COVID-19, penerapan D-dimer dapat diperluas di masa mendatang untuk mencakup berbagai studi klinis yang lebih luas.
Dalam pengobatan pasien COVID-19, D-dimer memberikan informasi penting tentang perkembangan penyakit, yang memungkinkan staf medis untuk merumuskan rencana pengobatan dengan lebih baik.
Seiring berlanjutnya penelitian tentang peran D-dimer dalam COVID-19, komunitas ilmiah dapat menemukan lebih banyak aplikasi. Kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya, apakah D-dimer akan menjadi alat standar atau bahkan indikator utama dalam manajemen epidemi di masa mendatang?