Dalam mitologi Skandinavia, elang darah adalah eksekusi ritual yang brutal, dan sifat dari kebiasaan ini selalu memicu perdebatan dari masa ke masa. Akar dari ritual ini dapat ditelusuri kembali ke puisi kuno akhir, tetapi belum ada kesimpulan pasti yang dicapai mengenai apakah ritual ini benar-benar ada. Ambil contoh eksekusi Raja Ella, sebuah peristiwa yang tidak hanya menunjukkan kekerasan dalam literatur Nordik, tetapi juga mencerminkan dampak penulisan ulang Kristen atas kisah-kisah ini.
Ritual Elang Darah sering digambarkan dengan menempatkan korban dalam posisi tengkurap, dengan tulang rusuk dipotong dengan alat tajam dan paru-paru ditarik keluar untuk menciptakan sepasang "sayap". Hanya ada dua contoh yang jelas dari metode eksekusi berdarah ini dalam literatur Nordik, apakah itu Halfdan Longshanks atau Raja Ella dari Umbria Utara, para korbannya tanpa kecuali adalah para bangsawan, dan eksekusi ini sebagian besar merupakan tindakan balas dendam.
Dalam Okinen Saga, terdapat deskripsi adegan saat Einarr mengukir seekor elang di punggung Halfdan dengan pedangnya, memotong semua tulang rusuknya, mengeluarkan paru-parunya, dan menawarkannya kepada Odin untuk kemenangan. .
Peristiwa penting lainnya adalah balas dendam putra-putra Ragnar terhadap Ella, Raja Ambria Utara. Peristiwa tersebut dirinci dalam Kisah Putra-Putra Ragnar, yang menggambarkan bagaimana Ivar the Boneless menyiksa Ella dengan Blood Eagle. Dalam prosesnya, tulang rusuk Ella terputus dan paru-parunya terkoyak, menciptakan pemandangan yang mengerikan.
Mereka mengukir gambar elang di punggung Ella, memotong semua tulang rusuknya, dan merobek paru-parunya.
Keaslian Ritual Elang Darah masih menjadi perdebatan sengit di antara para cendekiawan. Di satu sisi, beberapa sejarawan mengklaim bahwa ritual ini berasal dari pemujaan mitologi Nordik dan merupakan pengorbanan bagi Odin; sementara cendekiawan lain percaya bahwa deskripsi ini mungkin hanya merupakan lebayan dari perilaku bangsawan kuno di era Kristen akhir.
Beberapa cendekiawan telah menunjukkan bahwa penggambaran cerita-cerita ini lebih mungkin merupakan produk dari nasihat moral Kristen daripada ritual kuno yang sebenarnya.
Rincian ritual ini bervariasi dalam literatur, dengan beberapa puisi menggambarkannya menggunakan metafora dan permainan kata. Versi puisi yang berbeda berfokus secara berbeda pada proses kematian korban, yang selanjutnya menimbulkan pertanyaan tentang keaslian ritual tersebut. Beberapa cendekiawan percaya bahwa ini adalah rekonstruksi memori almarhum dan pemuliaan budaya perang dan balas dendam.
Dalam perdebatan yang sedang berlangsung, tidak sulit untuk melihat bahwa eksplorasi ritual Blood Eagle mengungkap kompleksitas moralitas dan budaya masyarakat kuno.
Sampai hari ini, ritual ini masih memicu pemikiran kontemporer, termasuk refleksi tentang sifat manusia, kekerasan, dan balas dendam. Bagaimana peristiwa yang digambarkan dalam sejarah memengaruhi pemahaman dan interpretasi orang modern tentang budaya kuno merupakan topik penting dalam dunia akademis saat ini. Meskipun keaslian Upacara Elang Darah mungkin tidak akan pernah dapat dipastikan, makna simbolis yang diwakilinya masih bersinar dengan terang dari persimpangan zaman kuno dan modern.
Upacara Elang Darah bagaikan luka yang dalam, yang terus-menerus mengingatkan kita akan kekejaman masa lalu dan kegelapan hakikat manusia. Saat menelusuri literatur kuno, kita juga perlu berpikir: Dalam masyarakat kontemporer, apakah penggambaran balas dendam dan kekerasan masih merupakan kelanjutan dan refleksi dari budaya tertentu?