Dalam konteks lingkungan saat ini, hilangnya keanekaragaman hayati telah menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi dunia. Aktivitas manusia telah memberikan dampak yang mendalam pada ekosistem global, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan masalah ini semakin memburuk dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Singkatnya, keanekaragaman hayati global sedang hilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, yang memaksa kita untuk memikirkan kembali dampak tindakan kita terhadap lingkungan.
Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 83% mamalia liar dunia dan setengah dari semua spesies tumbuhan berpotensi mengalami kepunahan.
Menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), seiring dengan terus bertambahnya populasi global, permintaan akan sumber daya alam juga terus meningkat. Diperkirakan populasi global akan mencapai lebih dari 9 miliar pada tahun 2050, yang tidak diragukan lagi akan memperburuk hilangnya keanekaragaman hayati. Di satu sisi, konsumsi daging global meningkat pesat dan diperkirakan akan meningkat hingga 76% pada tahun 2050. Di sisi lain, pertumbuhan tersebut pasti akan memberikan tekanan yang lebih besar pada lingkungan, yang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dan kerusakan ekosistem lebih lanjut.
Di negara-negara maju, penduduk mengonsumsi sumber daya 32 kali lebih cepat daripada di wilayah berkembang, sehingga menciptakan pola penggunaan sumber daya yang tidak merata secara global.
Dalam konteks ekologi, konsumsi berlebihan merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan. Menurut perkiraan dari Global Footprint Network, kebutuhan sumber daya manusia saat ini 70% lebih tinggi daripada kapasitas terbarukan ekosistem Bumi. Ini berarti bahwa makanan, energi, dan sumber daya lainnya yang kita miliki sehari-hari harus diperoleh dalam lingkungan yang terbatas. Dalam jangka panjang, hal itu akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang cepat dan menipisnya sumber daya.
Menghadapi tantangan yang begitu serius, banyak ilmuwan dan pemerhati lingkungan percaya bahwa pertumbuhan penduduk merupakan faktor penting yang menambah bahan bakar ke dalam api. Pada tahun 2017, lebih dari 15.000 ilmuwan di seluruh dunia mengeluarkan peringatan bahwa pertumbuhan manusia yang cepat merupakan akar penyebab dari banyak ancaman ekologi dan sosial. Mereka percaya bahwa pertumbuhan tersebut pasti akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan bencana ekologi yang lebih serius.
Setiap ekosistem di dunia saling terhubung, dan hilangnya keanekaragaman hayati berarti potensi krisis bagi kesehatan dan ketahanan pangan.
Pengelolaan sumber daya air dan lahan juga menghadapi tantangan dengan kebutuhan pertanian. Pertanian yang berlebihan dan pengelolaan perikanan yang tidak tepat telah memperburuk kerusakan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Laporan Penilaian Global 2019 tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem, penangkapan ikan yang berlebihan telah menjadi pendorong utama kepunahan spesies laut, yang terkait erat dengan meningkatnya kebutuhan manusia.
Selain itu, permintaan minyak kelapa sawit juga telah menyebabkan penggundulan hutan yang cepat, yang semakin membatasi perkembangan keanekaragaman hayati. Ribuan hewan dan tumbuhan eksotis terancam punah setiap tahun karena tuntutan ini.
Meskipun banyak kebijakan dan upaya perlindungan lingkungan, masalah ini tetap mendesak. Bagaimana melindungi lingkungan ekologis kita sambil mengejar pertumbuhan ekonomi telah menjadi masalah nomor satu yang dihadapi dunia.
Ilmuwan menyerukan perlunya memperhatikan perlindungan lingkungan dan mengambil tindakan segera untuk mengurangi dampak pada keanekaragaman hayati.
Dalam beberapa dekade mendatang, hilangnya keanekaragaman hayati akan memengaruhi wajah planet ini dan masa depan umat manusia. Namun, apakah semua upaya cukup, dan dapatkah umat manusia mencapai pembangunan berkelanjutan dalam jangka pendek? Ini masih membutuhkan refleksi dan tindakan semua orang?