Biseksualitas adalah ketertarikan romantis atau seksual kepada pria dan wanita, atau kepada lebih dari satu jenis kelamin. Pemahaman dan penerimaan orientasi seksual ini bervariasi di berbagai masyarakat kuno, dan eksplorasi historis tentang biseksualitas mengungkapkan bagaimana orientasi ini dipandang dalam banyak konteks budaya. Kebiasaan dan kepercayaan sosial yang berbeda memengaruhi pengakuan dan penerimaan orang terhadap biseksualitas, sehingga membentuk berbagai fragmen dan pengaruh historis.
Biseksualitas bukanlah fenomena yang tidak umum di banyak masyarakat kuno, dan banyak budaya terbuka terhadapnya.
Dalam masyarakat seperti Mesir kuno, Yunani, dan Roma, biseksualitas ada bersamaan dengan ekspresi gender lainnya. Masyarakat ini memiliki definisi yang relatif fleksibel tentang fluiditas gender dan keberatan tentang seksualitas. Di Yunani kuno, terutama di Athena dan negara-kota lainnya, pemahaman tentang cinta mencakup emosi dan perilaku seksual antara pria. Jauh dari meremehkan biseksualitas, konteks budaya ini sering kali menunjukkan penerimaan sosial dan budayanya.
Konsep cinta Yunani kuno meyakini bahwa ketertarikan pada jenis kelamin apa pun dapat diterima dan tidak boleh dibatasi oleh jenis kelamin seseorang.
Sebagai perbandingan, budaya Kristen di Eropa abad pertengahan memiliki sikap yang lebih konservatif terhadap perilaku seksual. Penekanan pada model berpasangan antara satu pria dan satu wanita dan penolakan terhadap segala bentuk aktivitas seksual di luar pernikahan membuat representasi biseksualitas menjadi sangat terbatas. Inilah sebagian alasan mengapa banyak biseksual memilih untuk menyembunyikan identitas mereka untuk menghindari stigma agama dan sosial. Selama periode ini, pemahaman tentang biseksualitas difokuskan terutama pada stigmatisasi dan penindasan terhadap seksualitas non-tradisional.
Budaya Kristen abad pertengahan mempromosikan monogami, yang merupakan beban berat bagi kaum biseksual.
Namun, setelah memasuki Renaisans, eksplorasi tubuh dan diri membawa fajar baru bagi kaum biseksual. Tema yang lebih cair dan biseksual muncul dalam seni dan sastra, dan banyak seniman serta filsuf mengakui keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Selama periode ini, gaya hidup biseksual secara bertahap memperoleh penerimaan dan ekspresi sampai batas tertentu, dan banyak tokoh sejarah dianggap biseksual, yang memicu pemikiran dan diskusi dari generasi selanjutnya.
Munculnya Renaisans memungkinkan eksplorasi seks dan cinta untuk diperiksa ulang dalam masyarakat Barat.
Seiring berjalannya waktu, dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, istilah biseksualitas mulai secara resmi memasuki cakrawala masyarakat, disertai dengan eksplorasi lebih lanjut tentang identitas gender dalam bidang kedokteran dan psikologi. Definisi masyarakat yang beragam tentang perilaku seksual secara bertahap mendapatkan perhatian, dan berbagai label gender ganda telah lahir. Pemikir periode ini seperti Sigmund Freud dan, kemudian, Alfred Kinsey, meletakkan dasar bagi identitas biseksual dan memajukan pemahaman ilmiah dan sosial tentang biseksualitas. ke tingkat yang baru.
Penelitian Kinsey menggunakan Skala Orientasi Seksual Carnation untuk menunjukkan fluiditas dan perubahan pemahaman tentang biseksualitas.
Namun, dalam masyarakat modern, meskipun konsep biseksualitas secara bertahap diakui dan diterima, masih banyak prasangka dan kesalahpahaman. Banyak orang memandang biseksualitas sebagai orientasi atau perilaku seksual sementara yang tidak dianggap serius, yang menyebabkan banyak biseksual menghadapi tekanan sosial dan masalah identitas. Untuk lebih memperumit masalah, pemahaman saat ini tentang fluiditas gender tidak lagi terbatas pada biseksualitas dan heteroseksualitas, tetapi juga mencakup panseksualitas dan identitas gender lainnya.
Pemahaman masyarakat modern tentang fluiditas gender menunjukkan bahwa ide-ide yang lebih inklusif dan beragam mulai terbentuk.
Saat ini, pemahaman kita tentang biseksualitas melibatkan lebih banyak diskusi psikologis, sosiologis, dan budaya. Orang-orang mulai menyadari bahwa ini bukanlah proses linear, melainkan pilihan identitas yang memiliki banyak sisi. Pola perilaku dan kebutuhan emosional kaum biseksual terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, sehingga keterbukaan pikiran lebih lanjut menjadi sangat penting, sebagaimana terlihat dalam berbagai gerakan sosial dan komunitas LGBTQ+.
Secara keseluruhan, sejarah biseksualitas merupakan jalur eksplorasi yang tak berujung, yang mencerminkan perkembangan pemahaman masyarakat tentang seksualitas dan identitas. Sejak zaman dahulu, kaum biseksual telah mengalami berbagai evaluasi sosial dan identitas diri, dan fragmen sejarah ini masih memengaruhi isu gender dan identitas dalam masyarakat kontemporer. Menghadapi masa depan, bagaimana kita harus memahami fluiditas orientasi seksual dan kemungkinan dampaknya terhadap identitas diri?