Dengan latar belakang meningkatnya perhatian global terhadap energi bersih, baterai litium-udara (Li-air), sebagai teknologi energi yang menjanjikan, secara bertahap menarik minat dari komunitas ilmiah dan komersial. Jenis baterai baru ini menggunakan reaksi oksidasi litium dan oksigen di udara untuk melakukan reaksi elektrokimia. Secara teoritis, baterai ini memiliki kepadatan energi yang sangat tinggi, sehingga kapasitas penyimpanan energi potensialnya sebanding dengan atau bahkan melebihi bensin. Hal ini membuat kita berpikir: Apakah teknologi ini benar-benar dapat mengubah permainan untuk kendaraan listrik masa depan?
Menurut perhitungan teoritis, energi spesifik baterai litium-udara dapat mencapai sekitar 40,1 MJ/kg, dibandingkan dengan 46,8 MJ/kg bensin, yang membuat orang ingin memahami secara mendalam prinsip-prinsip ilmiah di baliknya.
Prinsip pengoperasian baterai litium-udara relatif sederhana dan terutama melibatkan aliran ion litium dan elektron antara katode dan anoda. Selama proses pengisian daya, logam litium melepaskan elektron di anoda dan bereaksi dengan oksigen di udara. Selama pengosongan daya, ion litium bergerak ke katode, melepaskan energi melalui reduksi oksigen. Satu-satunya tantangan dalam proses ini adalah menjaga stabilitas dan siklus hidup baterai, memastikan bahwa baterai mempertahankan kinerja yang baik setelah beberapa kali pengisian dan pengosongan daya.
Tantangan utama baterai litium-udara berasal dari katodenya, karena pengosongan daya yang tidak tuntas dapat menyebabkan penyumbatan pada permukaan katode, yang memengaruhi kinerja baterai secara keseluruhan. Hal ini mengharuskan para peneliti untuk mengatasi masalah stabilitas kimia pada setiap komponen dalam desain guna menghindari oksidasi yang disebabkan oleh produk reaksi dan zat antara.
Anoda baterai litium-udara biasanya menggunakan logam litium, sedangkan katoda sebagian besar menggunakan material karbon berpori. Pemilihan material ini secara langsung memengaruhi kinerja elektrokimia baterai. Mengenai pemilihan elektrolit, saat ini terdapat empat desain utama: elektrolit anhidrat, elektrolit air asam, elektrolit air alkali, dan sistem campuran air dan anhidrat.
Konsep baterai litium-udara telah diusulkan sejak awal tahun 1970-an. Akan tetapi, karena penguasaan teknis material yang tidak memadai pada saat itu, komersialisasi tidak tercapai. Dengan kemajuan ilmu material pada awal tahun 2000-an, teknologi ini sekali lagi menarik perhatian luas.
Tantangan teknis terbesar saat ini meliputi waktu pengisian yang lama, sensitivitas terhadap nitrogen dan air, serta konduktivitas spesies Li2O2 yang buruk setelah pengisian. Memecahkan masalah ini memerlukan peningkatan lebih lanjut dalam desain elektrolit dan baterai.
Meskipun baterai litium-udara secara teori memiliki kepadatan energi yang sangat tinggi, masih terdapat beberapa masalah dalam aplikasi praktis. Penelitian di masa mendatang akan difokuskan pada cara meningkatkan efisiensi pengisian daya baterai, mengurangi kerugian internal, dan meningkatkan stabilitas pengisian dan pengosongan daya. Untuk keberhasilan penerapan teknologi baterai ini, banyak ahli percaya bahwa permintaan pasar terhadap kendaraan listrik akan menjadi pendorong utamanya.
Saat ini, kepraktisan baterai litium-udara mengalami hambatan, terutama dalam hal masa pakai baterai dan daya keluaran, yang membuatnya masih memerlukan terobosan teknologi lebih lanjut untuk mencapai komersialisasi yang meluas.
Baterai litium-udara tidak diragukan lagi luar biasa sebagai teknologi energi generasi mendatang yang potensial. Kepadatan energinya yang tinggi membuatnya menunjukkan prospek aplikasi yang luas di bidang kendaraan listrik dan penyimpanan energi terbarukan. Tantangan sebenarnya adalah apakah para ilmuwan dan peneliti dapat mengatasi hambatan teknologi saat ini dan menerjemahkan teori ini menjadi produk komersial yang andal. Di masa mendatang, mungkin kita dapat mengharapkan berita tentang popularitas baterai lithium-air dalam waktu dekat?