Seiring dengan makin seriusnya masalah polusi plastik, polimer biodegradable secara bertahap menjadi fokus perhatian global. Polimer ini dapat diurai menjadi zat yang ramah lingkungan oleh mikroorganisme, menjadikannya kunci untuk memecahkan masalah lingkungan. Namun, pengembangan polimer biodegradable dan beragam aplikasinya tidak berhenti di situ. Hari ini kami akan mengajak Anda menjelajahi perkembangan dan evolusi dunia khusus ini.
Polimer biodegradable memiliki sejarah panjang dan telah digunakan oleh manusia sejak zaman kuno. Salah satu bahan biodegradable paling awal adalah "jahitan usus," yang umum digunakan dalam pembedahan, yang penggunaannya sudah ada sejak 100 SM. Jahitan usus dibuat dari usus domba, dan zaman modern sebagian besar dibuat dari kolagen yang dimurnikan dari usus sapi, domba, atau kambing.
Pada tahun 1992, para ahli dari seluruh dunia di bidang polimer biodegradable berkumpul untuk membahas definisi dan standar di bidang ini.
Dengan kemajuan teknologi, konsep plastik biodegradable sintetis mulai muncul pada tahun 1980-an. Secara khusus, pada tahun 2012, Profesor George Coates dari Universitas Cornell memenangkan "Presidential Green Chemistry Challenge Award", yang selanjutnya mendorong pengembangan bidang ini.
Sifat polimer biodegradable berkaitan erat dengan strukturnya, dan biasanya polimer ini tersusun dari ikatan ester, amida, atau eter. Polimer ini dapat dibagi menjadi dua kategori utama: satu adalah "agripolimer", seperti polisakarida dari tanaman; yang lainnya adalah "biopoliester", yang terbuat dari mikroorganisme atau monomer sintetis.
Polimer yang dapat terurai secara hayati harus stabil dan tahan lama, tetapi mudah terurai selama pembuangan.
Selain struktur, kelarutan air dan berat molekul polimer ini akan memengaruhi laju degradasinya, dan karakteristik ini sangat penting ketika diterapkan pada pengiriman obat dan bahan medis.
Sintesis polimer yang dapat terurai secara hayati terutama bergantung pada sintesis poliester, yang biasanya dilakukan melalui kondensasi langsung, polimerisasi pembukaan cincin, dll. Secara khusus, penggunaan polimerisasi pembukaan cincin memungkinkan produksi poliester yang cepat dan efisien, namun, penghilangan air produk sampingan secara terus-menerus diperlukan untuk memfasilitasi reaksi.
Penggunaan katalis logam telah disetujui sebagai bahan tambahan pangan, tetapi masih ada beberapa kekhawatiran tentang aplikasi biomedisnya.
Selain itu, untuk meningkatkan sifat mekanis, banyak biopolimer dicampur atau diracik dengan polimer lain, yang tidak hanya dapat meningkatkan kekuatan tetapi juga meningkatkan kinerja pemrosesan.
Proses degradasi polimer biodegradable biasanya dibagi menjadi dua kategori: degradasi fisik dan degradasi biologis. Degradasi fisik dapat mencakup hidrolisis dan fotodegradasi, sedangkan degradasi biologis dapat dibagi lagi menjadi proses aerobik dan anaerobik.
Tujuan akhir dari polimer biodegradable adalah untuk terurai sepenuhnya menjadi gas tidak beracun, air, dan garam anorganik lainnya.
Selain sifat polimer itu sendiri, faktor lingkungan seperti pH, suhu, dan jenis mikroorganisme juga memengaruhi proses degradasi.
Polimer biodegradable telah menunjukkan potensi besar di banyak bidang seperti kedokteran, pertanian, dan pengemasan, terutama dalam sistem pelepasan obat. Biokompatibilitas dan sifat degradasi terkendali dari polimer ini menjadikannya pembawa ideal untuk pelepasan obat di lokasi tertentu.
Misalnya, asam polilaktat (PLA) dan poli(asam laktat-ko-glikolat) banyak digunakan dalam pengiriman obat antikanker.
Seiring kemajuan teknologi, bahan-bahan ini juga digunakan dalam rekayasa jaringan dan pengobatan regeneratif untuk mendukung regenerasi dan perbaikan jaringan dan organ yang rusak.
Di bidang pengemasan, polimer biodegradable seperti PLA secara bertahap menggantikan bahan tradisional yang berasal dari minyak bumi untuk membantu mengurangi limbah.
Seiring dengan meningkatnya kepedulian komunitas ilmiah terhadap isu lingkungan, penelitian dan penerapan polimer yang dapat terurai secara hayati akan terus meningkat. Namun, menghadapi tantangan dalam hal kinerja, keamanan, dan biaya, dapatkah kita menemukan solusi inovatif untuk benar-benar mencapai pembangunan yang ramah lingkungan?