Dalam sistem imun manusia, sel pembunuh alami (sel NK) berperan penting dan bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan menghancurkan sel inang yang terinfeksi atau bertransformasi. Pengaturan fungsinya bergantung pada sekelompok molekul yang disebut "reseptor mirip imunoglobulin sel pembunuh" (KIR). Protein membran ini tidak hanya memiliki pengaruh yang menentukan pada intensitas dan durasi respons imun, tetapi juga berperan penting dalam keseimbangan antara toleransi diri dan pengawasan imun.
"Reseptor KIR mampu membedakan varian alel MHC I, yang memungkinkan mereka mendeteksi sel yang terinfeksi virus atau bertransformasi secara efisien."
Gen KIR terletak di kompleks reseptor leukosit pada kromosom manusia 19 dan berisi 14 situs yang mencakup beberapa gen disomik. Reseptor KIR dapat dibagi menjadi dua kategori: stimulasi dan penghambatan. Dalam kebanyakan kasus, KIR penghambatan terkait erat dengan pengenalan dan penolakan sel sendiri dalam penelitian sebelumnya. Kehadiran reseptor ini membantu menghindari serangan pada sel sendiri yang sehat sekaligus memungkinkan identifikasi dan penghancuran sel yang sakit.
Bagi sel NK, reseptor KIR adalah molekul kunci yang secara langsung mengikat molekul MHC kelas I pada permukaannya. Secara khusus, efek ini dicapai melalui pengenalan molekul MHC kelas I oleh reseptor penghambat, yang akan menghambat perilaku sitotoksik sel NK. Sebaliknya, saat bersentuhan dengan sel yang sakit, sinyal penghambatan berkurang, yang memulai fungsi pembunuhan sel NK.
Reseptor KIR menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi dalam genom, yang mencerminkan tekanan selektif yang dialaminya dari berbagai patogen selama evolusinya. Mirip dengan komponen sistem imun lainnya, keragaman reseptor KIR dapat meningkatkan respons imun secara keseluruhan terhadap infeksi virus dan tumor. Genotipe KIR setiap orang bersifat unik, dan peluang dua individu yang tidak berhubungan memiliki genotipe KIR yang sama sangatlah rendah. Hal ini memberikan sistem imun kita kemampuan unik untuk merespons patogen.
"Keragaman genotipe KIR yang besar memberikan manusia kemampuan beradaptasi yang lebih baik terhadap virus dan tumor yang mungkin mereka hadapi di masa mendatang."
Penelitian terkini menemukan bahwa perubahan pada gen KIR dapat memengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit tertentu. Sebaliknya, individu dengan genotipe KIR penghambat yang dominan mungkin lebih rentan terhadap infeksi dan kegagalan reproduksi, tetapi mungkin lebih terlindungi secara efektif terhadap penyakit autoimun. Hubungan yang kompleks ini mengungkapkan peran ganda yang dimainkan KIR dalam sistem imun: selain melindungi inang dari patogen asing, ia juga harus melindungi terhadap risiko autoimunitas.
Reseptor stimulasi seperti KIR2DS1 dan KIR2DS2 telah dikaitkan dengan berbagai penyakit autoimun, yang selanjutnya menunjukkan bahwa peningkatan afinitas imun dapat menyebabkan serangan terhadap sel-sel tubuh sendiri dalam banyak kasus. Pada saat yang sama, keberadaan KIR3DS1 ditemukan terkait dengan penghambatan perkembangan kanker tertentu, yang menunjukkan keserbagunaan genotipe KIR dalam penyakit menular dan kanker.
Dengan semakin mendalamnya pemahaman tentang fungsi reseptor KIR, komunitas ilmiah menganggapnya sebagai target terapi yang potensial. Saat ini, penelitian tentang KIR dan terapi sel T CAR sedang berlangsung secara bertahap, yang bertujuan untuk menggunakan KIR guna meningkatkan kemampuan respons antitumor sel NK. Apakah penelitian ke arah ini dapat mengantarkan era baru imunoterapi bergantung pada pemahaman dan penguasaan kita terhadap mekanisme di balik KIR.
Jadi, apakah kita siap menggunakan kemajuan teknologi genetik untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh kita sehingga sistem tersebut dapat memainkan peran yang lebih besar dalam melindungi kesehatan kita?