Dalam sejarah perkembangan bedah medis, banyak teknologi telah ditemukan dan digunakan secara luas. Di antaranya, Deep Hypothermic Circulatory Arrest (DHCA) telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mengobati penyakit kompleks tertentu karena efek dan pentingnya yang unik. Prosedur ini memungkinkan aktivitas jantung dan otak terhenti saat suhu tubuh turun hingga 20°C hingga 25°C, sehingga memberikan kondisi yang efektif untuk beberapa operasi yang sulit.
Hipotermia dalam dengan henti peredaran darah merupakan teknik bedah yang sangat khusus yang memungkinkan operasi ekstensif dilakukan tanpa memengaruhi fungsi otak.
Alasan utama mengapa teknologi DHCA digunakan secara luas adalah karena memungkinkan dokter bedah melakukan operasi penting yang melibatkan otak atau pembuluh darah besar tanpa dibatasi oleh gangguan aliran darah. Saat jantung berhenti berdetak dan aliran darah terhenti, dokter dapat mengamati dan mengoperasi area target dengan lebih jelas, sehingga membantu meningkatkan efisiensi dan keamanan pembedahan. Menurut penelitian, risiko kerusakan otak akibat operasi DHCA relatif kecil, tetapi teknik ini bukannya tanpa risiko.
Teknologi pengawetan hipotermia yang digunakan untuk DHCA berasal dari kearifan dokter Yunani kuno Hippocrates, yang menekankan bahwa suhu rendah dapat mengurangi pendarahan selama proses perawatan. Diketahui bahwa secara biologis, saat suhu tubuh turun, laju metabolisme sel pun menurun, yang berarti sel dapat mempertahankan homeostasis sel dalam waktu lama tanpa suplai darah dan terhindar dari kerusakan. Oleh karena itu, hipotermia terapeutik menawarkan pendekatan yang efektif bagi pasien yang menghadapi cedera parah atau operasi.
Penelitian telah menunjukkan bahwa dengan menurunkan suhu tubuh, durasi henti jantung dapat diperpanjang dari beberapa menit normal menjadi satu jam.
DHCA berawal dari tahun 1950-an, saat ahli bedah Wilfred Bigelow memelopori teknik pendinginan pada hewan, yang mengawali era baru operasi jantung manusia. Melalui penelitian Bigelo, para ilmuwan menemukan bahwa otak dapat bertahan dalam periode penghentian aliran darah yang lebih lama di lingkungan serendah 5°C. Hingga saat ini, DHCA telah banyak digunakan dalam berbagai operasi, termasuk perbaikan lengkung aorta dan perbaikan aneurisma serebral.
Inti dari DHCA adalah untuk "melindungi" otak sementara dalam kondisi pendinginan. Saat otak mencapai suhu di bawah 18°C, aktivitas gelombang otak hampir sepenuhnya menghilang, dan otak memasuki kondisi "keheningan elektrofisiologis". Hal ini tidak hanya mengurangi konsumsi energi sel-sel otak, tetapi juga secara efektif mengurangi dampak radikal bebas dan peradangan imun, yang selanjutnya melindungi jaringan otak.
Tercapainya pembungkaman elektrofisiologis dianggap sebagai indikator penting untuk menentukan pendinginan yang dibutuhkan untuk pasien secara individu.
Meskipun operasi DHCA telah membawa harapan bagi pasien dalam aplikasi klinis, pengelolaan panas berlebih selama pemulihan pascaoperasi merupakan kaitan yang harus diperhatikan oleh tim medis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengendalian suhu yang tidak tepat selama proses penghangatan ulang dapat menyebabkan konsekuensi yang merugikan dan bahkan meningkatkan risiko kerusakan saraf pada pasien. Oleh karena itu, bagaimana mengelola proses ini secara lebih efektif menjadi salah satu fokus penelitian di masa mendatang.
Dengan kemajuan teknologi, masa depan penangkapan sirkulasi hipotermia dalam tetap menjanjikan. Uji klinis baru tengah menjajaki kemungkinan penggunaan teknologi ini untuk menanggapi cedera traumatis, yang memungkinkan dokter memperpanjang kelangsungan hidup pasien saat menangani pendarahan yang mengancam jiwa. Hal ini tidak hanya menantang pemahaman komunitas medis tentang batas antara hidup dan mati, tetapi juga dapat membuka peluang baru bagi pasien trauma.
Menghadapi teknologi bedah yang begitu penting, kita jadi bertanya-tanya, seiring dengan semakin canggihnya teknologi medis, apakah operasi di masa mendatang akan mampu mencapai keseimbangan yang lebih baik antara manajemen risiko dan penggunaan yang inovatif?