Menara gading, istilah yang mulai populer pada abad ke-19, sering digunakan untuk menggambarkan kondisi akademis yang terisolasi dari kenyataan. Dalam lingkungan seperti itu, orang-orang mengejar teori dan ide, yang sering kali tidak berhubungan dengan masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dari makna awalnya dalam Alkitab hingga percakapan yang terus menarik minat para cendekiawan dalam masyarakat modern, konsep menara gading telah berkembang seiring waktu dan budaya.
Akar kata ini dapat ditelusuri kembali ke Mazmur dalam Alkitab, yang menggambarkan "lehermu seperti menara gading", yang melambangkan kemuliaan dan kemurnian. Dalam budaya Kristen, gambaran ini juga dikaitkan dengan Maria dan menjadi simbol kebajikan. Seiring berjalannya waktu, makna menara gading berubah, semakin menekankan para pencari ilmu yang berada di posisi tinggi tetapi terpisah dari kenyataan.
Menara gading dapat dilihat sebagai ruang tersembunyi dan istimewa tempat orang-orang melarikan diri dari kenyataan dan fokus untuk memenuhi kebutuhan jiwa.
Istilah menara gading juga mulai digunakan dalam literatur pada abad ke-19, khususnya dalam puisi penyair Alfred de Vigny, yang menggunakan metafora "menara gading" untuk menggambarkan pertentangan terhadap partisipasi sosial. Hal ini memungkinkan konsep menara gading untuk secara bertahap menyatu dengan semacam kritik sosial.
"Menara gading" dalam dunia akademis modern sering dikaitkan dengan elitisme, dengan banyak universitas dan perguruan tinggi dipuji karena hasil penelitian dan dampak akademisnya yang tinggi. Banyak universitas terkemuka tidak hanya menempati posisi tinggi dalam pemeringkatan domestik dan internasional, tetapi juga menerima dukungan keuangan yang substansial dari pemerintah nasional dan daerah. Fenomena ini telah mengintensifkan kritik terhadap komunitas akademis sampai batas tertentu.
Meskipun peran penting yang dimainkan akademisi dalam memajukan pengetahuan, kebutuhan masyarakat lokal sering kali kurang diperhatikan.
Seiring dengan kemajuan masyarakat dan teknologi, tantangan terhadap menara gading terus bermunculan. Misalnya, beberapa akademisi menganjurkan penggabungan sastra dengan isu-isu sosial kontemporer dan percaya bahwa puisi modern harus dihubungkan dengan pengalaman hidup dan emosi masyarakat. Perspektif ini mengajak kita untuk memikirkan kembali hubungan antara akademisi dan masyarakat, yang mendorong para ahli untuk merenungkan bagaimana penelitian mereka relevan bagi masyarakat umum.
Secara khusus, di sekolah pascasarjana Universitas Webster, beberapa akademisi menunjukkan bahwa komunitas akademis harus mengurangi ketergantungannya yang berlebihan pada masa lalu dan berusaha menemukan cara untuk berdialog dengan peradaban populer. Oleh karena itu, mengeksplorasi bagaimana akademisi dapat keluar dari menara gading dan menghadapi masalah sosial merupakan tantangan yang perlu dihadapi oleh para akademisi kontemporer.
Bagi komunitas akademis saat ini, selain mengejar kemurnian pengetahuan, kita juga harus memperhatikan dampak nyata yang dapat ditimbulkan oleh pengetahuan.
Situasi ini menggemakan pandangan yang disebutkan oleh seorang profesor di Universitas Stanford dalam bukunya "The Forgotten Society", yang menunjukkan bahwa jika para ahli akademis terlalu memperhatikan jurusan mereka sendiri, mereka pada akhirnya akan kehilangan kontak dengan orang-orang biasa, dan bahkan menjadi semacam isolasi diri baru. Ini bukan hanya tentang penyebaran hasil penelitian, tetapi juga penerapan pengetahuan.
Di tengah banyaknya kritik dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat juga telah meningkatkan harapan untuk akademisi. Mereka berharap bahwa para cendekiawan akan lebih memahami perspektif dari konteks non-akademis dan diminta untuk benar-benar terlibat dengan tantangan utama yang dihadapi masyarakat saat ini. Dengan latar belakang ini, apakah menara gading masih merupakan pilihan yang bijaksana? Atau haruskah kita mencari lebih banyak cara untuk terhubung dengan masyarakat untuk mempromosikan pengembangan pengetahuan dan membuat beasiswa lebih inklusif dan praktis? Pertanyaan-pertanyaan ini layak untuk kita pikirkan secara mendalam.
Di era perubahan cepat dan ledakan informasi ini, dapatkah kita menemukan cara untuk menekuni ilmu pengetahuan yang tidak kehilangan kedalamannya tetapi juga sejalan dengan masyarakat?