Afasia selektif adalah gangguan kecemasan yang menyebabkan orang tidak dapat mengekspresikan diri mereka dalam situasi sosial tertentu, meskipun mereka berbicara dengan lancar di tempat lain atau dengan orang tertentu. Kondisi ini sering kali disertai dengan gangguan kecemasan sosial dan dapat secara halus memengaruhi keterampilan sosial dan kesehatan mental seseorang secara keseluruhan. Penyebab dan manifestasi afasia selektif bervariasi dan sulit didefinisikan, sehingga banyak pasien tidak menerima diagnosis dan pengobatan yang tepat waktu.
Orang dengan afasia selektif sering kali memilih untuk tetap diam dalam situasi sosial, meskipun ada potensi konsekuensi bagi mereka: isolasi sosial atau bahkan penghinaan.
Orang dengan afasia selektif sama sekali tidak dapat berbicara dalam situasi tertentu, dari ruang kelas sekolah hingga situasi sosial dengan teman sebaya, meskipun mereka dapat berbicara dengan bebas di rumah atau di tempat pribadi lainnya. Anak-anak mungkin diam selama bertahun-tahun di sekolah tetapi sangat banyak bicara di rumah, yang menyebabkan banyak orang secara keliru berasumsi bahwa mereka hanya pemalu atau biasa-biasa saja.
Selain ketidakmampuan untuk mengeluarkan suara, orang dengan afasia selektif juga dapat menunjukkan serangkaian karakteristik perilaku dan psikologis lainnya, seperti:
Hal ini semakin rumit karena banyak orang dengan afasia selektif mungkin tidak dapat mengekspresikan diri mereka sendiri ketika menghadapi situasi yang tidak dikenal karena kesulitan memproses informasi sensorik.
Afasia selektif sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan sosial, dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa hal itu merupakan strategi penghindaran yang potensial, terutama ketika situasi sosial menimbulkan lebih banyak kecemasan. Meskipun banyak orang dengan afasia selektif mampu berkomunikasi secara normal dalam situasi tertentu, mereka akan benar-benar diam ketika menghadapi situasi yang mengharuskan mereka berbicara.
Menurut penelitian, kondisi banyak orang dengan afasia selektif mungkin terkait dengan aktivitas berlebihan di wilayah otak yang disebut amigdala, yang bertanggung jawab untuk merasakan ancaman dan memulai respons "lawan atau lari". Ada bukti bahwa perilaku ini mungkin bersifat genetik dan bukan sekadar cacat kepribadian.
Meskipun banyak orang yang membesarkan anak dengan afasia selektif mungkin memiliki harapan bahwa kondisinya akan membaik seiring bertambahnya usia, ini adalah kesalahpahaman. Afasia selektif yang tidak diobati dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan masalah sosial dan emosional lainnya yang terus-menerus. Terapi intervensi dini sangat penting untuk membantu anak-anak membangun keterampilan sosial yang diperlukan.
Perawatan yang tersediaBanyak orang dengan afasia selektif masih mampu berhasil dalam situasi sosial tertentu dengan dukungan yang tepat; pertanyaannya adalah apakah dukungan dan pemahaman yang tepat tersedia.
Strategi perawatan saat ini mencakup pelatihan keterampilan sosial, terapi perilaku kognitif, dan terapi perilaku lainnya, yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri sosial pasien. Misalnya, Perawatan Kecemasan Komunikasi Sosial (S-CAT) adalah perawatan yang umum digunakan yang menggabungkan unsur-unsur terapi perilaku dan terapi perilaku kognitif untuk membantu orang dengan afasia selektif berinteraksi secara sosial secara bertahap.
Untuk pasien yang lebih muda, stimulus fading
sering digunakan. Dengan menciptakan lingkungan yang aman, personel yang relevan pada akhirnya akan memperkenalkan mitra komunikasi baru untuk membantu pasien secara bertahap beradaptasi dengan situasi sosial baru.
Bagi mereka yang terkena afasia selektif, memahami dampak psikologis dan sosial dari kondisi tersebut dapat membantu masyarakat, keluarga, dan sistem pendidikan memberikan dukungan dan pemahaman yang diperlukan. Namun, masih banyak kesalahpahaman tentang afasia selektif, terutama kata "selektif" yang dapat menyesatkan orang dengan berpikir bahwa pasien dapat memutuskan kapan harus berbicara secara mandiri, padahal sebenarnya mereka sering ingin mengekspresikan diri tetapi tidak mampu melakukannya. Yang terpenting, bagaimana kita dapat bekerja sama untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang afasia selektif dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi mereka yang mengalaminya?