Hukuman mati, yang juga dikenal sebagai hukuman mati, adalah sistem di mana negara menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang melakukan kejahatan tertentu sesuai dengan hukum. Sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke masa-masa awal masyarakat manusia. Sebelum sistem pemenjaraan yang efektif dapat dibangun, sistem hukum awal sering menggunakan hukuman mati sebagai bentuk hukuman utama.
Di banyak budaya, pelaksanaan hukuman mati didasarkan pada pemeliharaan ketertiban sosial dan pencegahan terhadap penjahat.
Metode eksekusi telah berkembang dari waktu ke waktu. Masyarakat kuno sebagian besar menggunakan metode yang sangat kejam, seperti gantung, pemenggalan kepala, dan pembakaran. Di zaman modern, metode-metode ini secara bertahap telah digantikan oleh metode eksekusi yang lebih berorientasi pada hak asasi manusia, seperti suntikan mematikan.
Di zaman kuno, metode eksekusi bervariasi, tergantung pada budaya dan era. Misalnya, pada masa Kekaisaran Romawi, pengkhianat dan pembelot sering disalib, hukuman publik yang sangat kejam. Jenis hukuman ini bukan hanya hukuman bagi pelaku kejahatan, tetapi juga pesan peringatan bagi masyarakat.
Filsuf Yunani kuno Plato percaya bahwa hukuman mati adalah tindakan pemurnian karena kejahatan akan menodai jiwa.
Pada masa Dinasti Tang di Tiongkok, meskipun hukuman mati sempat dihapuskan, hukuman tersebut diberlakukan kembali setelah pemberontakan. Eksekusi hukuman mati pada masa itu sebagian besar berupa hukuman gantung dan pemenggalan kepala, dan mayat para penjahat sering kali dipajang di depan umum untuk memperingatkan masyarakat.
Pada Abad Pertengahan, eksekusi sama seringnya seperti pada zaman kuno. Di beberapa masyarakat, puluhan ribu wanita dituduh melakukan sihir dan dieksekusi karena takut pada penyihir. Selama periode ini, pembahasan tentang hukuman mati meningkat, dan orang-orang mulai mencari sistem hukum yang lebih adil untuk menggantikan balas dendam berdarah.
Ahli hukum Yahudi Moses Maimonides pernah berkata: "Lebih memuaskan membiarkan seribu orang bersalah bebas daripada mengeksekusi satu orang yang tidak bersalah."
Tren ideologis era Pencerahan juga mendorong refleksi tentang hukuman mati. Banyak filsuf mulai mempertanyakan keabsahan hukuman mati, dengan alasan bahwa alternatif, seperti pemenjaraan atau bentuk hukuman lainnya, harus dicari alih-alih memperlakukan hukuman mati sebagai alat hukuman.
Pada abad ke-20, para ahli dan aktivis berbicara panjang lebar tentang isu-isu hak asasi manusia, khususnya hukuman mati. Di banyak negara, eksekusi hukuman mati telah mulai bergeser ke bentuk yang lebih manusiawi, seperti suntikan mematikan, dengan menekankan kebersihan, keamanan, dan privasi dari proses eksekusi.
Organisasi hak asasi manusia percaya bahwa masalah mendasar hukuman mati terletak pada kontradiksi antara dapat dibatalkannya dan tidak dapat dibatalkannya hukuman mati.
Banyak negara telah memilih untuk menghapus hukuman mati atau menangguhkan eksekusi sementara dalam upaya untuk mempromosikan toleransi dan keadilan sosial. Hingga tahun 2023, di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), hanya Amerika Serikat dan Jepang yang akan terus mempertahankan sistem hukuman mati. Situasi ini telah menarik perhatian luas dari masyarakat internasional.
Isu hukuman mati masih memicu perdebatan di seluruh dunia. Di satu sisi, para pendukung percaya bahwa hukuman mati merupakan jaminan penting keadilan sosial; di sisi lain, para penentang percaya bahwa hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan dapat menyebabkan penegakan hukum yang salah.
Organisasi hak asasi manusia menekankan bahwa keberadaan hukuman mati melanggar hak dasar untuk melindungi kehidupan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Seiring dengan semakin jelasnya sikap berbagai negara terhadap hukuman mati, ada seruan tak berujung dari masyarakat untuk memperbaiki sistem hukum. Selama ini, pembahasan tentang hukuman mati tidak hanya masalah hukum dan moral, tetapi juga menyentuh berbagai persimpangan budaya, masyarakat, dan politik.
Dalam isu yang terus berubah ini, apakah hukuman mati merupakan simbol keadilan atau tantangan terhadap martabat manusia?