Mutasi Dynein 2 merupakan faktor penyebab serangkaian miopati nuklir sentral (CNM) yang menyebabkan inti sel otot berada di lokasi yang tidak normal di bagian tengah sel, bukan di lokasi perifer normalnya. Gejala khas dari kondisi langka ini meliputi miastenia gravis, sesak napas, dan bentuk kepala bengkok yang khas. Meskipun miopati muskulotubular terkait kromosom X secara tradisional merupakan kelainan bawaan yang muncul sejak lahir, beberapa miopati nuklir sentral juga dapat muncul di kemudian hari.
Mirip dengan miopati lainnya, manifestasi klinis miopati yang paling menonjol akibat mutasi dynein 2 adalah kelemahan otot dan kecacatan terkait. Bentuk bawaan sering kali menunjukkan tonus otot yang rendah, kelemahan parah, tonggak perkembangan yang tertunda (terutama tonggak latihan berat seperti mengangkat, merangkak, dan berjalan) dan komplikasi paru (mungkin karena kelemahan otot yang bertanggung jawab untuk bernapas) pada periode neonatal yang disebabkan). Kerusakan pada otot wajah dapat menyebabkan gangguan gerakan mata atau ptosis.
Pasien dengan mutasi dynein 2 dapat menghasilkan reaksi yang berpotensi parah terhadap anestesi, seperti hipertermia ganas.
Meskipun beberapa pasien dengan miopati nukleus sentral mampu tetap bergerak sepanjang masa dewasa, yang lain mungkin tidak dapat merangkak atau berjalan sepanjang hidup mereka dan memerlukan kursi roda untuk bergerak. Ada variabilitas yang signifikan dalam tingkat disfungsi antara miopati sentronuklear yang berbeda. Meskipun penyakit ini dikandung dalam otot sukarela, beberapa anak telah mengalami serangan jantung, yang mungkin disebabkan oleh tekanan tambahan pada jantung.
Kelainan gen yang berhubungan dengan miopati muskulotubular terkait-X (XLMTM) pertama kali terlokalisasi pada tahun 1990 di situs Xq28 kromosom X. Tubulin yang dikodekan oleh gen MTM1 adalah lipid fosfatase yang sangat terkonservasi yang terlibat dalam transportasi dan pensinyalan sel. Mutasi pada MTM1 didiagnosis pada sekitar 80% pasien pria dengan miopati muskulotubular pada biopsi otot, dengan sekitar 7% dari mutasi ini merupakan penghapusan gen. Sebaliknya, miopati nukleus sentral yang tidak terkait secara seksual (yaitu, tidak terletak pada kromosom X) dianggap diturunkan secara autosomal dan dapat bersifat dominan atau resesif.
Diagnosis miopati nukleus sentral memerlukan kombinasi temuan histologis biopsi otot yang khas dengan beberapa tanda klinis yang direkomendasikan; MRI otot dapat membantu penilaian klinis dan menggambarkan perlunya pengujian genetik jika ada tanda-tanda yang samar. Miopati sentronuklear ditunjukkan pada biopsi otot sebagai struktur ovoid yang mengelilingi nukleus sentral yang dikemas dengan glikogen dan mitokondria tanpa serat otot.
Saat ini tidak ada perawatan radikal untuk semua bentuk CNM, dan pendekatan suportif multidisiplin untuk manajemen pasien sebagian besar diadopsi, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan membantu pasien beradaptasi dengan kebutuhan sehari-hari mereka.
Keseluruhan insiden miopati muskulotubular adalah sekitar 1 dari 50.000 kelahiran laki-laki. Insiden miopati nuklir sentral lainnya sangat langka, dengan hanya 19 keluarga CNM yang ditemukan di seluruh dunia. Gejalanya berkisar dari ketergantungan umum pada alat bantu jalan (seperti alat bantu jalan) hingga ketergantungan total pada alat bantu mobilitas (seperti kursi roda), spesies terakhir sangat langka dan hanya diketahui dalam dua kasus pada pasien dengan CNM.
Sekitar 80% pasien laki-laki dengan miopati duktal akan memiliki mutasi MTM1 yang dapat dideteksi oleh analisis urutan gen pada biopsi otot.
Pada tahun 1966, seorang ahli saraf Kota New York, Dr. Sbiro, menerbitkan laporan medis seorang anak laki-laki dengan miopati yang menunjukkan bahwa biopsi otot menunjukkan bahwa nukleus sel otot terletak di bagian tengah sel, bukan di bagian tepi sel. Lebih dari tiga dekade kemudian, belum sepenuhnya dipahami apakah teori tentang perkembangan otot embrio yang terhenti (atau tertunda) itu benar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mutasi pada gen MTM1 dapat diterima untuk miopati muskulotubular yang dimulai pada periode neonatal, tetapi ini mungkin tidak berlaku untuk bentuk miopati sentronuklear autosomal.
Namun, terlepas dari apakah penyebab miopati terkait dengan stagnasi tahap "muskulotube", nama miopati muskulotubular tetap ada dan diterima secara luas karena alasan historis. Seiring dengan semakin mendalamnya pemahaman tentang penyakit ini, persepsi dan respons masyarakat terhadap penyakit ini juga berubah. Haruskah kita lebih mengeksplorasi mekanisme genetik di balik penyakit langka ini dan mencari pilihan pengobatan yang lebih efektif?