Demam babi klasik (CSF) adalah penyakit babi yang sangat menular, dan potensinya untuk menyebabkan kerugian besar bagi industri babi menjadikannya ancaman besar bagi pertanian di seluruh dunia. Bukan hanya karena toksisitas patogen, tetapi juga karena kecepatan dan cakupan penyebarannya, banyak negara menghadapi tantangan dalam pencegahan. Artikel ini akan membahas karakteristik patologis demam babi klasik, epidemiologinya, perlunya vaksinasi, dan mempertimbangkan bagaimana kekebalan buatan dapat menjadi sarana pencegahan dan pengendalian yang efektif.
Demam babi klasik menyebabkan demam tinggi, gejala kulit, kejang, dan infark limpa, terutama pada hewan muda, dengan angka kematian setinggi dalam waktu 15 hari.
Manifestasi klinis penyakit ini meliputi bentuk akut dan kronis, dan kondisinya bisa ringan sehingga tidak jelas, atau parah sehingga angka kematiannya sangat tinggi. Babi yang terinfeksi dapat mengalami kehilangan nafsu makan, kelelahan, dan gaya berjalan tidak stabil. Beberapa hari setelah timbulnya penyakit akut, perubahan warna menjadi ungu dapat muncul di telinga, perut, dan paha bagian dalam, yang merupakan tanda khas penyakit tersebut.
Teknologi imunisasi buatan yang asli berasal dari Marion Dorset, yang memungkinkan sejumlah kecil babi yang terinfeksi untuk bertahan hidup dan memperoleh kekebalan.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tindakan imunisasi buatan untuk babi secara bertahap telah digunakan secara luas. Vaksinasi dapat secara efektif meningkatkan daya tahan ternak babi dan mengurangi terjadinya demam babi klasik. Namun, vaksinasi dan pemantauan tetap merupakan proses yang rumit, terutama di daerah-daerah di mana babi sangat mudah berpindah tempat dan produk dagingnya diperdagangkan secara aktif.
Patogen yang menyebabkan demam babi klasik adalah CSFV, yang berkerabat dekat dengan virus ruminansia lainnya. Perubahan dalam tingkat dan cakupan epidemi telah membuat pencegahan dan pengendalian menjadi lebih sulit.
Penyakit ini endemik di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, serta sebagian Eropa dan Afrika. Meskipun dinyatakan telah diberantas di Inggris pada tahun 1966, wabah baru terjadi di East Anglia pada tahun 2000. Dengan globalisasi perdagangan babi, data epidemiologi menunjukkan bahwa CSF menjadi masalah yang semakin penting untuk ditangkap dan dikendalikan.
Metode diagnostik tradisional mencakup berbagai metode deteksi, seperti genotipe langsung dan pengujian imunologi epidemik, yang merupakan solusi efektif untuk menentukan infeksi babi.
Seiring kemajuan teknologi, keakuratan berbagai uji diagnostik meningkat. Metode termasuk penggunaan konfirmasi antibodi fluoresen dan pengujian ELISA telah menjadi alat penting untuk mencegah dan mengendalikan demam babi klasik. Metode ini tidak hanya dapat mendeteksi virus pada babi, tetapi juga membantu dalam mempelajari sumber epidemi.
Di daerah berisiko tinggi penyebaran demam babi Afrika, vaksinasi menyeluruh dan pemantauan ketat sangat penting.
Berbagai standar dan program internasional bertujuan untuk memperkuat deteksi cepat, diagnosis, dan vaksinasi darurat terhadap CSF guna melindungi kesehatan babi. Karena bahaya semakin meningkat saat babi berpindah dari satu populasi ke populasi lain, beberapa negara bahkan mulai membatasi perburuan dan menggunakan strategi penandaan dan vaksinasi darurat untuk mengekang penyebaran penyakit.
Meskipun dampak demam babi klasik pada populasi babi global tidak dapat diremehkan, kita masih memiliki peluang untuk mengekang penyebaran penyakit ini melalui teknologi kekebalan buatan dan langkah-langkah pemantauan yang efektif. Di masa mendatang, bagaimana mencapai keseimbangan antara melindungi keselamatan pertanian dan mencegah epidemi tidak diragukan lagi merupakan masalah penting yang layak untuk dipikirkan secara mendalam.