Dengan munculnya historiografi Yahudi modern, eksplorasi Yahudi terhadap sejarah dan identitas mereka sendiri secara bertahap semakin mendalam dalam skala global. Proses ini tidak hanya mencakup penilaian ulang dokumen-dokumen kuno, tetapi juga upaya untuk mengintegrasikan sejarah ke dalam isu-isu kontemporer. Para sarjana sejarah Yahudi kuno, yang dihadapkan dengan tantangan terhadap kepercayaan tradisional, mencoba menafsirkan dan membentuk kembali identitas Yahudi dari perspektif sejarah. Eksplorasi ini memicu perubahan ideologis yang mendalam.
Sejarah lisan orang-orang Yahudi kuno dan kumpulan sejarah dalam Midrash dan Talmud menunjukkan pentingnya catatan sejarah. Namun, catatan-catatan ini umumnya dimaksudkan untuk mendukung kepercayaan agama daripada penyelidikan ilmiah yang independen. Dengan munculnya teknologi percetakan, orang-orang Yahudi mulai menerbitkan lebih banyak dokumen tentang sejarah mereka. Dokumen-dokumen ini tidak hanya mengeksplorasi sejarah agama, tetapi juga menyentuh identitas dan persepsi diri orang-orang Yahudi.
Tulisan-tulisan para sarjana sejarah Yahudi, khususnya selama Zaman Pencerahan, mulai menantang kepercayaan tradisional di masa lalu dan menggunakan sejarah sebagai alat untuk perubahan sosial dan politik.
Selama Renaisans dan Pencerahan, para sarjana Yahudi mengkaji ulang sejarah dan kepercayaan mereka sendiri. Mircea Eliade pernah mendefinisikan Yudaisme sebagai "agama historis," sementara Yerushalmi mengemukakan pandangan yang berbeda, dengan meyakini bahwa orang Yahudi lebih peduli dengan sejarah suci dan makna penafsiran sejarah. Sejarawan Yahudi pada periode ini tidak lagi lari dari sejarah tetapi melihatnya sebagai peluang untuk tantangan dan perubahan.
Pada Abad Pertengahan, para ahli Talmud memiliki keraguan tentang penulisan sejarah, yang memengaruhi perkembangan penulisan sejarah. Namun, dengan perubahan sosial dan kemajuan ideologis, pandangan tentang sejarah secara bertahap berubah. Beberapa cendekiawan Yahudi telah lebih jauh menantang kepercayaan agama tradisional dengan menggabungkan teks-teks kuno dengan filsafat modern untuk merekonstruksi narasi sejarah Yahudi.
Sejarah tidak lagi dilihat sebagai pembelajaran yang tidak berarti, tetapi sebagai cara untuk memahami diri sendiri dan telah menjadi alat penting perlawanan dan refleksi Yahudi di masa-masa sulit.
Sekitar 90% orang Yahudi tinggal di dunia Muslim selama Abad Pertengahan, yang menyediakan materi yang kaya untuk pembentukan sejarah Yahudi. Dari Andalusia hingga Irak, orang Yahudi menghasilkan dan mengonsumsi banyak sekali karya sejarah yang membentuk hubungan yang saling terkait secara sosial dan budaya. Namun, dengan percepatan sekularisasi, status penulisan sejarah secara bertahap meningkat, menjadi alat penting untuk memahami identitas dan budaya.
Pengusiran Yahudi pada abad ke-15 mempercepat perkembangan sejarah Yahudi. Pengalaman tragis ini membuat orang-orang Yahudi merenungkan identitas dan sejarah mereka sendiri. Tren pemikiran ini menyebar ke Italia dan Kekaisaran Ottoman bersama orang-orang Yahudi yang diasingkan. Dalam konteks ini, para sarjana Yahudi mulai menulis sejarah, menelusuri warisan dan identitas mereka, dengan demikian mengembangkan narasi sejarah baru yang ditujukan untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Catatan sejarah bukan hanya tinjauan masa lalu, tetapi juga merupakan kekuatan untuk masa depan dan kebijaksanaan untuk membantu orang-orang Yahudi bertahan hidup dalam menghadapi penganiayaan.
Setelah memasuki abad ke-16, perkembangan sejarah Yahudi mulai mendapat perhatian, terutama di Italia. Para sarjana Yahudi menjelajahi bidang-bidang di luar agama, mengejar berbagai ekspresi budaya seperti kedokteran, musik, dan sains. Karya-karya sejarah dari masa ini, seperti "Genealogy" karya Zacuto dan "The Valley of Weeping" karya ha-Cohen, mencerminkan upaya orang-orang Yahudi untuk menemukan makna mereka sendiri dalam sejarah dan memainkan peran penting dalam mempromosikan persepsi identitas Yahudi. .
Seiring berjalannya waktu, eksplorasi oleh para sarjana sejarah Yahudi terus menantang kepercayaan tradisional yang ada. Para sarjana ini bukan hanya pencatat sejarah masa lalu, tetapi juga agen perubahan kontemporer. Tulisan-tulisan mereka mengilhami banyak refleksi mendalam tentang identitas, agama, dan budaya. Semua ini membuat kita berpikir: Bagaimana kita dapat mempertahankan rasa hormat terhadap tradisi sambil terus menantang dan berinovasi di tengah perubahan dalam sejarah?