Dalam masyarakat modern, bahasa tidak lagi sekadar alat untuk menyampaikan informasi. Bahasa telah menjadi kekuatan yang dahsyat untuk mengubah perilaku sosial. Dari teori "tindak tutur" John Austin hingga performativitas gender Judith Butler, banyak cendekiawan telah menekankan kemampuan bahasa untuk membentuk realitas sosial kita. Melalui teori-teori ini, kita dapat memahami bagaimana identitas pribadi terus-menerus direkonstruksi dalam komunikasi sehari-hari dan bagaimana penggunaan bahasa dapat memengaruhi lingkungan dan budaya di sekitarnya.
"Kekuatan bahasa tidak hanya terletak pada makna yang disampaikannya, tetapi juga pada tindakan yang dihasilkannya."
Austen, yang pertama kali mengajukan konsep "performativitas", mendefinisikannya sebagai kapasitas tindakan bahasa. Teorinya menjelaskan bagaimana bahasa melakukan lebih dari sekadar mendeskripsikan sesuatu, tetapi juga dapat "melakukan" sesuatu melalui tindak tutur tertentu. Misalnya, ketika sepasang kekasih mengikrarkan hidup mereka satu sama lain di sebuah pesta pernikahan, kata-kata mereka bukan sekadar ekspresi emosi; kata-kata mereka melakukan tindakan yang sah secara hukum.
Pandangan ini telah banyak digunakan dalam perilaku sosial modern. Butler lebih lanjut menjelaskan bahwa gender bukanlah identitas yang tetap, melainkan konstruksi melalui bahasa dan kinerja sehari-hari. Ini berarti bahwa identitas gender adalah kinerja yang berkelanjutan di mana individu menciptakan dan memperkuat peran gender mereka melalui pengulangan bahasa dan perilaku tertentu.
"Gender bukanlah kinerja, tetapi tindakan; itu adalah dinamika yang berkelanjutan."
Teori Butler menantang pandangan tradisional tentang gender dan membuat kita menyadari fluiditas identitas. Dalam pandangannya, gender bukanlah lapisan pakaian yang dipaksakan pada diri sendiri oleh masyarakat, tetapi fenomena yang berubah dengan setiap tindakan dan setiap komunikasi. Teori ini tidak hanya mengusulkan konstruksi sosial gender, tetapi juga mempromosikan pemahaman tentang fluiditas dan keragaman gender.
Dari perspektif sosiologis, teori performativitas memungkinkan kita untuk memikirkan kembali cara kita bertindak dalam masyarakat. Sosiologi tradisional biasanya berfokus pada faktor struktural, namun, performativitas memungkinkan para sarjana untuk menganalisis bagaimana individu "berperilaku" dalam situasi sosial tertentu, sehingga memengaruhi orang dan lingkungan di sekitar mereka. Semua ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya beroperasi dalam struktur tetapi terus-menerus mengatur ulang dan berubah melalui kekuatan yang tertanam dalam perilaku sehari-hari.
"Semua perilaku manusia adalah kinerja dalam konteks tertentu, dan setiap perilaku adalah ekspresi."
Pandangan seperti itu semakin dipopulerkan oleh kebangkitan postmodernisme. Sarjana postmodern mempertimbangkan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dan menekankan ketidakpastian dan keragaman praktik sosial. Para sarjana percaya bahwa performativitas adalah alat penting untuk memahami perubahan sosial kontemporer dan dapat membantu kita memahami bagaimana individu menyesuaikan diri dan berubah dalam berbagai konteks sosial.
Misalnya, dalam sistem pendidikan kontemporer, performativitas diterapkan pada kriteria evaluasi penelitian akademis. Seperti yang dikatakan Jean-François Lyotard, pengetahuan saat ini harus menunjukkan keefektifannya dalam operasi yang efisien, bukan hanya dalam memberikan deskripsi yang benar. "Penilaian kinerja" dalam sistem sekolah dan budaya tempat kerja ini tidak hanya memengaruhi metode pengajaran dan penilaian, tetapi juga berdampak besar pada pola psikologis dan perilaku orang.
"Pengetahuan kontemporer tidak hanya harus melaporkan fakta, tetapi juga mencapai beberapa efek."
Saat kita melihat ke masa depan, konsep "performativitas" tidak diragukan lagi akan terus memengaruhi berbagai perilaku sosial dan fenomena budaya. Di setiap bidang, mulai dari hukum hingga ekonomi hingga hubungan pribadi, kombinasi bahasa dan perilaku akan terus membentuk kembali struktur sosial dan interaksi interpersonal kita.
Oleh karena itu, ketika kita berpikir mendalam tentang bagaimana "performativitas" telah menjadi inti dari perilaku sosial kontemporer, kita tidak dapat tidak bertanya: Di masyarakat masa depan, bagaimana bahasa dan ekspresinya akan memengaruhi identitas dan interaksi sosial individu? ?