Afrika Selatan, negara dengan topografi yang beragam dan budaya yang kaya, merupakan rumah bagi berbagai kelompok etnis yang identitasnya sering kali dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, terutama kebijakan kolonial dan apartheid di masa lalu. Bahkan di era pasca-apartheid, partai yang berkuasa di Afrika Selatan, Kongres Nasional Afrika (ANC), terus menggunakan kategori ras yang berasal dari masa kolonial, sehingga label ras tertanam kuat dalam masyarakat Afrika Selatan.
Pembagian sejarah ini tidak hanya memengaruhi identitas sosial tetapi juga memengaruhi pembuatan kebijakan, terutama dalam tindakan yang diambil terhadap kelompok yang secara historis diperlakukan tidak adil.
Kelompok ras utama di Afrika Selatan meliputi kulit putih, India, kulit berwarna, dan kulit hitam. Masing-masing kelompok etnis ini memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang unik dan memainkan peran penting dalam tatanan sosial Afrika Selatan.
Di Afrika Selatan, orang kulit hitam merupakan kelompok populasi terbesar. Kelompok ini meliputi suku Chunan, Xhosa, San, dan kelompok etnis lainnya. Setiap kelompok etnis memiliki budaya dan bahasa yang berbeda. Menurut hasil sensus tahun 2022, komunitas kulit hitam Afrika Selatan mencakup 81% dari total populasi. Namun, selama beberapa generasi terakhir, kelompok ini telah mengalami kerugian sosial dan ekonomi yang sangat besar.
Kelompok Berwarna Afrika Selatan merupakan kelompok etnis yang dibentuk oleh perpaduan berbagai budaya dan sejarah, dan identitas mereka ditetapkan secara paksa selama periode apartheid. Di masa lalu, orang kulit berwarna dipandang sebagai perwakilan dari keturunan multiras. Saat ini, banyak orang memilih untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai orang kulit hitam atau kelompok etnis lainnya, yang mencerminkan keberagaman identitas.
Di Afrika Selatan, pilihan identitas budaya merupakan ekspresi hak individu, tetapi pengaruh sejarah masih terabaikan, dan banyak orang masih merasakan tekanan dari masyarakat.
Latar belakang budaya kelompok kulit putih sebagian besar berasal dari Eropa. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ini terus menurun karena arus keluar imigrasi dan tingkat kesuburan yang rendah. Namun, secara ekonomi, pendapatan rata-rata kelompok kulit putih lebih tinggi daripada kelompok lain, yang mencerminkan modal sosial yang terkumpul selama kebijakan apartheid sebelumnya.
Orang Indo-Afrika Selatan sebagian besar adalah pekerja dan keturunan mereka yang bermigrasi ke Afrika Selatan dari India Britania pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Kelompok etnis ini menunjukkan keragaman dalam bahasa, agama, dan budaya, serta menempati tempat dalam kehidupan ekonomi dan budaya Afrika Selatan.
Diferensiasi berkelanjutan dari kelompok etnis ini telah menimbulkan konsekuensi sosial-ekonomi yang signifikan, khususnya dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan kondisi perumahan. Menurut statistik, tingkat pengangguran untuk warga kulit hitam Afrika Selatan adalah 28,1%, dibandingkan dengan 4,1% untuk warga kulit putih, yang menyoroti ketidaksetaraan yang ditinggalkan oleh apartheid.
Kesenjangan ini tidak hanya akan memengaruhi kualitas hidup individu, tetapi juga akan meluas ke generasi berikutnya, membentuk lingkaran setan.
Menghadapi tantangan struktural sosial yang mendalam ini, Afrika Selatan perlu merenungkan bagaimana ia dapat mempromosikan pembangunan sosial-ekonomi yang setara sambil mempertahankan identitas multikulturalnya. Sementara beberapa kebijakan bertujuan untuk mengalokasikan kembali sumber daya untuk mengimbangi ketidakadilan historis, efektivitas kebijakan ini masih kontroversial.
Dalam konteks ini, bagaimana perpecahan ras di Afrika Selatan akan memengaruhi keharmonisan sosial dan pembangunan ekonomi di masa depan?