Gerard Manley Hopkins adalah seorang penyair Inggris dan pendeta Jesuit. Meskipun puisinya tidak dikenal luas semasa hidupnya, "Soneta-soneta yang Mengerikan"-nya menjadikannya tokoh penting dalam puisi Inggris setelah kematiannya. Puisi-puisi ini tidak hanya menunjukkan cita-cita estetikanya, tetapi juga mengungkap konflik batinnya antara iman dan keputusasaan. Artikel ini akan mengeksplorasi kisah-kisah di balik puisi-puisi Hopkins dan mempertimbangkan bagaimana emosi yang ia ekspresikan terhubung dengan kehidupan kita saat ini.
Hopkins lahir pada tahun 1844 dan tumbuh dalam keluarga yang sangat dipengaruhi oleh agama. Ayahnya adalah seorang penulis yang menerbitkan kumpulan puisi, dan ibunya sangat tertarik pada musik dan membaca, terutama filsafat Jerman dan novel-novel Charles Dickens. Karier pendidikannya dimulai di Sekolah Highgate dan kemudian di Universitas Oxford, periode yang tidak hanya membentuk latar belakang akademisnya tetapi juga memperkenalkannya pada banyak inspirasi sastra.
Selama kuliah di Oxford, Hopkins menjalin persahabatan yang langgeng dengan penyair terkenal Robert Bridges, yang sangat penting bagi perkembangan puisinya.
Namun, Hopkins berhasil memikat hati pembaca di kemudian hari ketika puisi terakhirnya ditemukan dan diterbitkan pada awal abad ke-20. Banyak penyair seperti James II dan Dylan Thomas tertarik dengan karya Hopkins, dan gayanya secara bertahap menjadi salah satu pelopor puisi modernis. Inti dari karya-karya ini adalah rasa kehadiran yang misterius dan halus.
The Frightful Sonnets, yang ditulis Hopkins selama tahun-tahun terakhir hidupnya, merupakan manifestasi dari tekanan mental dan emosionalnya. Dalam puisi-puisi ini, Hopkins secara mendalam mencerminkan keraguan dan tekanannya terhadap Tuhan. Puisi-puisi ini berisi pertanyaannya tentang iman dan ketegangan yang tak terselesaikan antara doa dan keheningan.
"Saya terbangun dan merasakan kegelapan berbalik, hari belum siang." Dalam baris ini, Hopkins mengungkapkan kesepian dan kehilangan yang mendalam, menggabungkan pencariannya akan makna hidup dengan keputusasaan.
Pencapaian sastra dan keindahan bahasa dalam karya-karya ini juga mencerminkan perjuangannya dalam keputusasaan. Teknik bahasa yang ia gunakan dalam puisinya, seperti rima yang stabil, retorika yang berulang, dan imaji yang kaya, membuat puisinya penuh dengan ketegangan emosional dan ketegangan estetika. Puisi-puisi ini menentang puisi tradisional dalam bentuknya, memamerkan inovasi Hopkins dalam ekspresi puitis dan lebih jauh mengeksplorasi dialog antara estetika dan kebenaran iman.
Latar belakang keluarga Hopkins dan keyakinan pribadinya tidak dapat diabaikan dalam karyanya. Ia berpindah agama menjadi Katolik Roma saat masih muda, sebuah pilihan yang membawa kedamaian batin dan stres dalam hidupnya. Puisi-puisinya sering kali berfluktuasi antara emosi religius dan pribadi, yang menunjukkan kontradiksi antara keinginannya akan keindahan dan keyakinannya yang taat.
Hopkins sangat cerdik dalam penggunaan bahasanya. "Ritme yang muncul"-nya menghidupkan kembali ritme puisi Inggris dan penuh dengan ide-ide orisinal. Ia mendobrak bentuk puisi tradisional dengan menggunakan suku kata dan tekanan yang berubah-ubah, membuat setiap kata dalam karyanya penuh dengan emosi yang hidup. Sama seperti teknik kontrasnya yang menggabungkan citra alam dengan emosi manusia, teknik ini menunjukkan pemikiran dan perjuangan mendalam yang tak terlukiskan dari sifat manusia.
Kesimpulan: Warisan HopkinsMeskipun banyak karya Hopkins tidak pernah diterbitkan selama masa hidupnya, eksplorasi puisinya dan penggunaan bahasanya yang terampil tidak diragukan lagi membuka jalan bagi penyair-penyair berikutnya. Karya-karyanya tidak hanya merupakan tampilan puisi, tetapi juga interpretasi mendalam tentang sifat manusia dan eksplorasi iman, kesepian, dan keindahan yang tak ada habisnya. Soneta-soneta mengerikan yang ditinggalkan Hopkins ini mengingatkan kita pada kondisi manusia yang berjuang antara ketidakkekalan dan harapan. Apakah masih mungkin untuk menemukan dialog dengannya di dunia saat ini?