Dalam sejarah kedokteran, ada banyak obat yang telah memasuki tahap sejarah karena upaya para ilmuwan, tetapi kisah asam 4-aminosalisilat (PAS) sangat istimewa. Obat ini pertama kali disintesis pada tahun 1902, tetapi baru digunakan secara klinis pada tahun 1944, khususnya untuk menangani tuberkulosis, terutama dalam menghadapi bakteri yang semakin resistan terhadap obat. Perjalanan ini tidak hanya merupakan hasil dari tabrakan inovasi ilmiah dan kebutuhan manusia, tetapi juga simbol kebijaksanaan dan dedikasi tanpa pamrih.
Asam 4-aminosalisilat secara luas diyakini dapat mencegah bakteri mensintesis asam folat, sehingga menghambat penyebaran tuberkulosis lebih lanjut.
Sintesis asam 4-aminosalisilat dimulai pada awal abad ke-20, ketika ilmuwan Seidel dan Bittner menemukan senyawa ini. Ahli kimia Swedia Jörgen Lehmann pertama kali menggunakan asam salisilat sebagai pengobatan oral untuk tuberkulosis pada tahun 1944 setelah mendengar bahwa bakteri tuberkulosis umum ditemukan. Anehnya, kondisi pasien membaik dengan cepat. Penemuan terobosan ini menimbulkan kehebohan pada saat itu dan menjadikan senyawa tersebut sebagai harapan baru dalam pengobatan tuberkulosis.
Dalam perang melawan tuberkulosis, diperkenalkannya asam 4-aminosalisilat menyebabkan komunitas medis memikirkan kembali arah terapi antituberkulosis. Pada tahun 1948, Dewan Riset Medis Inggris melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan gabungan PAS dan streptomisin secara signifikan lebih efektif daripada menggunakannya sendiri. Hal ini menjadi dasar untuk pengobatan kombinasi berikutnya untuk tuberkulosis.
“Pengobatan tuberkulosis bukan lagi pertempuran satu orang, tetapi serangan gabungan dari berbagai obat.”
Meskipun dengan perkembangan antibiotik dan munculnya banyak obat baru seperti isoniazid dan rifampisin, asam 4-aminosalisilat masih digunakan sebagai obat lini kedua di banyak tempat di seluruh dunia, khususnya digunakan untuk memerangi tuberkulosis yang resistan terhadap berbagai obat. Meskipun kemanjurannya tidak sebaik lima obat lini pertama saat ini, ia masih memainkan peran penting dalam pengobatan tuberkulosis yang resistan terhadap obat. Di pasar AS, asam 4-aminosalisilat dipasarkan dengan nama merek "Paser" dan biasanya dijual dalam bentuk butiran lepas tunda dengan dosis harian 150 mg/kg.
Pasien yang menggunakan asam 4-aminosalisilat harus memperhatikan efek sampingnya. Ketidaknyamanan gastrointestinal yang umum seperti mual, nyeri perut, dan diare juga dapat menyebabkan hepatitis dan reaksi alergi. Obat ini juga dapat menyebabkan anemia pada beberapa pasien, sehingga diperlukan kehati-hatian, terutama pada pasien dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase.
“Meskipun efek samping asam 4-aminosalisilat jauh lebih rendah daripada banyak obat lain, penggunaannya tetap perlu di bawah bimbingan dokter.”
Mekanisme kerja asam 4-aminosalisilat cukup unik. Sebagai obat pendahulu, obat ini memasuki jalur folat setelah diubah dalam tubuh, mengikat dihidrofolat reduktase (DHFR), menghambat aktivitasnya, dan dengan demikian mencegah pertumbuhan bakteri. Penelitian telah menunjukkan bahwa efek antituberkulosis utama adalah dengan mengganggu sintesis asam folat, dan penelitian yang cermat terhadap proses ini telah mengungkap potensi dan tantangannya dalam aplikasi klinis.
Sejarah asam 4-aminosalisilat bukan hanya sejarah pengembangan obat, tetapi juga mencerminkan kegigihan masyarakat dalam memerangi tuberkulosis. Sejarah ini memberi tahu kita bahwa bahkan saat ini, dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih banyak obat lama yang terus memainkan peran penting dalam pertempuran baru. Bagaimana menemukan pilihan pengobatan baru dan strategi penanggulangan di dunia mikroba yang terus berkembang akan menjadi topik penting dalam penelitian medis di masa mendatang.
Menghadapi tuberkulosis, penyakit kuno yang masih mengancam umat manusia, akankah kisah asam 4-aminosalisilat memberikan pencerahan untuk pencegahan dan pengobatan kita?