Di Yunani kuno, retorika bukan hanya seni berbicara; retorika juga dipandang sebagai alat penting dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan terbentuknya sistem demokrasi, orang-orang mulai menyadari peran pidato yang efektif dalam persuasi dan pengaruh, dan studi teknik retorika secara bertahap menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan. Definisi Aristoteles dan analisisnya tentang tiga teknik persuasif yaitu "logika", "emosi", dan "moralitas" masih dikutip oleh banyak orang saat ini dan telah menjadi landasan retorika modern.
Aristoteles pernah berkata bahwa retorika adalah "kemampuan mengamati sarana persuasi yang tersedia dalam kasus apa pun."
Sejarah retorika dapat ditelusuri kembali ke Yunani kuno pada abad kelima SM. Pada masa itu, definisi dan penerapan retorika masih menjadi topik yang kontradiktif dan menantang. Banyak filsuf kuno, seperti Socrates dan Plato, memiliki pandangan yang berbeda tentang retorika, khususnya Plato yang mengkritik retorika sebagai alat untuk memanipulasi kebenaran. Namun, Aristoteles membebaskan retorika dari kritik tersebut, mendefinisikannya sebagai seni yang menggabungkan logika dan etika politik.
Aristoteles dengan elegan membagi retorika menjadi tiga kategori: retorika politik, retorika yudisial, dan retorika performatif.
Seiring berjalannya waktu, retorika berkembang melampaui pidato politik. Pada masa kini, cakupan penerapan retorika telah meluas ke hampir semua bidang budaya manusia. Ini mencakup berbagai bidang seperti sains, seni, agama, dan media digital. Dalam konteks sosial yang berbeda, teknik retorika digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik dan meningkatkan pemahaman antarpribadi. Sarjana retorika saat ini seperti Kenneth Burke mengusulkan bahwa retorika adalah cara manusia menyelesaikan konflik melalui sifat dan minat bersama, menjadikan definisi retorika lebih luas dan lebih mencakup semuanya.
Dari perspektif sejarah Eropa, retorika telah lama dipandang sebagai seni kewarganegaraan yang memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat dan pembentukan karakter warga negara. Filsuf kuno seperti Aristoteles dan Isocrates menekankan peran retorika dalam membangun masyarakat. Mereka percaya bahwa kemampuan retorika tidak hanya dapat memengaruhi individu, tetapi juga memengaruhi operasi dan nilai-nilai seluruh masyarakat.
Isocrates pernah menekankan bahwa "kekuatan kata-kata membantu kita membangun kota dan membuat hukum." Hal ini menyoroti peran integral retorika di setiap tingkat masyarakat.
Di antara alat politik, retorika digunakan sebagai bentuk manipulasi opini publik. Kelompok politik sering menggunakan "retorika manipulatif" untuk memajukan kebijakan dan kepentingan mereka. Dalam konteks operasi sosial, banyak lembaga pemerintah menggunakan retorika untuk membentuk citra keadilan mereka, sering kali menggunakan nama kesejahteraan dan kebebasan publik untuk menutupi kontradiksi dan konflik di jalan yang sebenarnya. Strategi retorika ini cukup berhasil dalam mengalihkan perhatian publik dari fenomena yang dangkal.
Seiring berkembangnya retorika, secara bertahap retorika menjadi bidang independen dalam dunia akademis. Banyak universitas mulai mengajarkan retorika sebagai mata kuliah, termasuk berbicara di depan umum dan keterampilan komunikasi. Mata kuliah ini membimbing siswa untuk memahami bagaimana manusia menggunakan simbol, terutama bahasa, untuk mencapai kerja sama dan konsensus. Dari teknik debat kuno hingga media digital modern, retorika telah mengalami transformasi luar biasa dan terus beradaptasi dengan kebutuhan budaya dan sosial yang muncul.
Retorika bukan lagi sekadar seni berbicara di depan umum, tetapi juga keterampilan sosial yang melibatkan dialog dan pemahaman budaya.
Di masa kontemporer, pentingnya mengeksplorasi retorika tidak terbatas pada keterampilan dan teknik, tetapi juga mencakup peran retorika dalam budaya dan masyarakat. Banyak akademisi mulai memandang retorika sebagai proses yang dibangun secara sosial, dengan fokus pada bagaimana bahasa mencerminkan dan membentuk realitas sosial. Perspektif seperti itu membuat studi retorika lebih inklusif dan mudah beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Lebih jauh, sejumlah besar aktivitas retorika sebenarnya merupakan jalinan koordinasi sosial yang tak terlihat, yang memengaruhi kehidupan dan cara berpikir kita setiap saat.
Seiring kemajuan teknologi dan perubahan masyarakat, bentuk dan fungsi retorika terus berkembang. Kita tidak dapat menahan diri untuk bertanya, apa peran retorika dalam masyarakat saat ini? Apakah dampaknya positif atau negatif?