Tinta, media tulis dan lukis yang telah diwariskan selama ribuan tahun, telah melalui proses evolusi yang panjang dan membawa catatan serta ekspresi peradaban manusia. Di berbagai periode dan wilayah, orang-orang secara mandiri mengembangkan berbagai formula tinta dan teknik produksi berdasarkan kebutuhan mereka sendiri.
Tinta awal sebagian besar dibuat dari jelaga, toner hitam yang mudah dikumpulkan yang sering kali diproduksi sebagai produk sampingan api.
Sejarah tinta dapat ditelusuri kembali ke Mesir pada abad ke-26 SM. Saat itu, orang Mesir mulai menggunakan tinta merah dan hitam, yang sebagian besar bergantung pada oksida besi dan pigmen khaki. Tinta ini menciptakan kata-kata dan pola monumental pada papirus yang dipotong. Produksi tinta Tiongkok memiliki sejarah panjang, dengan catatan yang berasal dari Zaman Neolitikum 4.000 tahun yang lalu. Tinta Tiongkok kuno biasanya dibuat dari tumbuhan, hewan, dan mineral, dengan berbagai bahan yang dicampur dengan air untuk menambah viskositas tinta.
Tinta batangan tradisional Tiongkok terbuat dari kaca isin, sedangkan Jepang menggunakan lem dari sapi atau rusa.
Tinta batangan Tiongkok masih menjadi pilihan utama untuk kaligrafi dan lukisan Tiongkok. Proses pembuatan tinta batangan ini tidak berubah sejak zaman dahulu. Tinta memainkan peran yang sangat penting dalam penggunaan sehari-hari para seniman dan cendekiawan.
Berbagai komponen tinta, seperti pigmen, pengikat, dll., memberikan efek yang berbeda pada karakteristik tinta. Kestabilan warna, aliran, dan tampilan kering semuanya dipengaruhi olehnya. Sebagai perbandingan, tinta pigmen granular banyak digunakan karena ketahanan warnanya yang lebih kuat, tetapi bahan-bahannya lebih mahal dan rentang warnanya lebih sempit.
Dengan permintaan pencetakan multi-kecepatan, tinta berbasis pelarut telah mendapatkan tempat khusus dalam aplikasi pengeringan cepat.
Ada banyak jenis tinta, yang secara umum dapat dibagi menjadi empat kategori: berbasis air, cair, pasta, dan bubuk. Di antara bahan baku ini, tinta berbasis air dan tinta berbasis minyak untuk penggunaan komersial dan rumah tangga memainkan peran penting dalam berbagai lingkungan, terutama secara tidak langsung memengaruhi perkembangan teknologi pencetakan kontemporer.
Namun, dampak tinta terhadap kesehatan dan lingkungan tidak dapat diabaikan. Logam berat dan senyawa organik volatil yang tersembunyi dalam tinta merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Banyak produsen mulai mengeksplorasi penggunaan minyak sayur sebagai pengganti minyak berbasis minyak bumi tradisional, karena pasokan tinta di India juga menjadi semakin penting, yang menunjukkan URL pembangunan berkelanjutan.
Faktanya, seiring dengan kemajuan teknologi, proses produksi tinta juga terus berkembang, dan bahkan tinta karbon nanotube konduktif pun berangsur-angsur dibuat.
Perkembangan teknologi percetakan juga telah mengubah penggunaan tinta. Metode penulisan manual klasik berangsur-angsur digantikan oleh pencetakan yang dipimpin teknologi modern. Proses ini menunjukkan bagaimana teknologi memengaruhi cara kita menulis dan berkomunikasi. Namun, dengan hadirnya era digital, penggunaan tinta tradisional telah dievaluasi ulang dan dihargai di beberapa bidang.
Perlindungan buku dan dokumen kuno merupakan ujian penting lainnya. Tinta gel besi mulai banyak digunakan pada abad ke-12 dan telah lama dianggap sebagai salah satu tinta terbaik. Namun, sifat korosif dari jenis tinta ini telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan pada banyak dokumen berharga. Ini adalah masalah yang selalu mengganggu kita para ahli pelestarian budaya.
Meski begitu, kemajuan teknologi perlindungan dokumen modern telah memberi kita harapan baru. Melalui berbagai metode perawatan bebas air atau berbasis air, diharapkan dapat memperlambat kerusakan dokumen.
Evolusi tinta adalah lambang kearifan manusia. Tinta bukan hanya alat tulis, tetapi juga pembawa warisan budaya yang penting. Untuk media yang telah berkembang selama ribuan tahun dan masih terus berubah, bagaimana kita memahami signifikansinya di masa kini dan masa depan?