Dalam sejarah panjang Tiongkok, perpaduan budaya Han dan budaya Baiyue menunjukkan adanya benturan antara dua struktur sosial dan gaya hidup yang sangat berbeda. Ketika suku Han berekspansi ke selatan, proses ini tidak hanya berupa migrasi penduduk, tetapi juga pertukaran dan integrasi budaya. Saat ini, benturan tersebut masih memengaruhi lanskap multikultural Tiongkok, yang mendorong kita untuk berpikir tentang seperti apa integrasi kedua budaya ini nantinya.
Suku Han telah menduduki bagian timur Tiongkok dengan pengaruh budaya dan ekonomi yang kuat sejak zaman dahulu, sementara suku Baiyue sebagian besar tinggal di selatan dan memiliki bahasa, adat istiadat, dan kepercayaan yang unik.
Suku Han berasal dari Cekungan Sungai Kuning, dan sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke suku-suku Tiongkok kuno. Selama ribuan tahun, suku Han bermigrasi dari dataran utara ke selatan, membentuk fondasi peradaban Tiongkok saat ini. Seiring berjalannya sejarah, sejumlah besar imigran Han telah muncul di Guangxi, Guangdong, dan bahkan Vietnam utara saat ini. Para imigran ini tidak hanya membawa inovasi dalam ekonomi dan pengembangan lahan, tetapi juga menyebarkan budaya dan bahasa mereka ke daerah setempat melalui berbagai metode.
Ekspansi ke selatan oleh orang-orang Han tidak hanya merupakan kebutuhan mendesak untuk menemukan tanah baru, tetapi juga merupakan perwujudan kepercayaan budaya. Mereka berharap untuk melanjutkan cara hidup mereka di tempat baru.
Sebagai kelompok etnis aborigin di daerah Jiangnan, orang-orang Baiyue menghadapi tekanan budaya yang kuat dan tantangan bertahan hidup selama kontak mereka dengan orang-orang Han, tetapi mereka masih mempertahankan bahasa, adat istiadat, dan tradisi mereka sendiri. Melalui kontak dan pertukaran yang konstan, budaya Baiyue juga menyerap beberapa elemen budaya Han, membentuk sistem hibrida budaya yang unik.
Misalnya, struktur sosial Baiyue jelas berbeda dari sistem keluarga orang-orang Han. Dalam masyarakat Han, status keluarga dan hubungan darah sangat dihargai, sementara masyarakat Baiyue lebih fleksibel dan beragam, yang menciptakan kontras yang kuat antara keduanya dalam hal organisasi sosial dan ekspresi budaya.
Menghadapi hegemoni orang Han, orang Baiyue memilih untuk mencari ruang untuk integrasi sambil melindungi budaya mereka sendiri, yang membuat budaya mereka lebih hidup dan dinamis dalam benturan budaya.
Benturan antara Han dan Baiyue terutama terlihat dalam perkembangan kota, evolusi bahasa, dan pembentukan kepercayaan. Kota-kota di selatan, seperti Guangzhou dan Fuzhou, telah menjadi garis depan konfrontasi budaya antara Han dan Baiyue. Hal ini tercermin dalam nama tempat dan adat istiadat kota-kota ini.
Kepercayaan rakyat kota sebenarnya mencerminkan perpaduan budaya ini. Kuil-kuil di banyak kota tidak hanya berisi dewa-dewa Han tetapi juga totem dan kepercayaan Baiyue, yang membentuk bentuk baru ekspresi budaya.
Perpaduan budaya bukanlah sekadar penggantian satu sama lain, tetapi ekosistem yang lebih kompleks yang memengaruhi dan mengubah satu sama lain, membentuk fenomena multikultural yang kita lihat saat ini.
Saat ini, kita masih dapat mengamati jejak perpaduan budaya Han dan Baiyue di seluruh Tiongkok. Lingkungan multikultural ini membuat kita merenungkan cara untuk lebih meningkatkan saling pengertian dan rasa hormat atas dasar menghormati budaya yang berbeda. Oleh karena itu, lintasan semua ini dan keragaman saat ini memaksa kita untuk berpikir tentang bagaimana benturan budaya akan membentuk lanskap sosial masa depan.