Istilah operasi caesar (C-section) sudah tidak asing lagi bagi banyak orang. Operasi ini merupakan prosedur melahirkan satu atau beberapa bayi ke dunia melalui sayatan di perut ibu. Secara historis, teknologi dan konsep operasi caesar berkembang secara bertahap dalam sistem medis kuno dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Namun, operasi ini bukanlah pilihan obstetrik yang umum di zaman dahulu. Baru pada masa inovasi teknologi medis modern, operasi caesar menjadi sarana penting untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi.
Operasi caesar sudah ada sejak 715 SM, tetapi hampir tidak ada ibu yang selamat. Dengan kemajuan teknologi medis, jumlah operasi caesar yang berhasil pun meningkat secara bertahap.
Mengenai sejarah awal operasi caesar, ada banyak legenda dan catatan yang menunjukkan bahwa prosedur ini pertama kali dicoba sejak zaman kuno. Konon, nama operasi caesar berasal dari negarawan Romawi Julius Caesar, yang dikabarkan lahir melalui operasi caesar. Akan tetapi, teori ini tidak memiliki dasar sejarah, karena ibunya Aurelia bertahan hidup hampir 50 tahun setelah kelahirannya.
Lingkungan persalinan yang buruk dan kurangnya perawatan pascaoperasi yang efektif membuat operasi caesar kuno secara luas dianggap sebagai pilihan yang putus asa, dan biasanya tidak dilakukan kecuali jika ibu telah meninggal dan hanya bayi yang selamat dalam kasus yang kejam. Akibatnya, penerimaan operasi caesar secara historis sangat terbatas, baik karena alasan medis maupun tekanan sosial.
Revolusi medis abad ke-19 meletakkan dasar bagi popularisasi operasi caesar. Dengan diperkenalkannya teknologi anestesi dan antimikroba, peluang ibu dan bayi untuk bertahan hidup telah meningkat pesat, dan risiko operasi caesar tidak lagi menakutkan. Pada tahun 2021, sekitar 23 juta operasi caesar dilakukan secara global setiap tahun, menunjukkan besarnya permintaan dan pentingnya operasi ini.
Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan bahwa operasi caesar hanya boleh dilakukan jika secara medis diperlukan.
Indikasi untuk operasi caesar meliputi, tetapi tidak terbatas pada, penyumbatan jalan lahir, kehamilan kembar, tekanan darah tinggi, persalinan sungsang, kelainan plasenta, dan masalah tali pusat. Situasi ini dapat membahayakan ibu dan bayi, dan memilih operasi caesar dapat melindungi keselamatan mereka dengan lebih baik. Selain itu, karena kebutuhan pribadi wanita, sistem medis di beberapa negara telah mulai menerima operasi caesar berdasarkan permintaan wanita.
Meskipun operasi caesar dapat secara efektif mengurangi beberapa risiko, operasi ini tetap disertai serangkaian risiko berikutnya. Komplikasi setelah operasi meliputi infeksi, penyembuhan luka yang buruk, dan masalah kesehatan seperti kram menstruasi. Dan untuk kehamilan berikutnya, wanita yang telah menjalani operasi caesar juga tampaknya berisiko lebih tinggi mengalami kondisi berbahaya seperti plasenta inkreta.
Ibu yang telah menjalani operasi caesar harus lebih berhati-hati pada kehamilan berikutnya karena beberapa operasi caesar dikaitkan dengan risiko kesehatan yang lebih tinggi.
Seiring dengan peningkatan pemahaman dan toleransi masyarakat terhadap pilihan reproduksi wanita, pilihan operasi caesar semakin diakui. Banyak ahli medis menyerukan untuk mempertimbangkan sepenuhnya kesehatan ibu dan bayi saat memilih metode persalinan untuk menghindari operasi caesar yang tidak perlu. Namun, penggunaan operasi caesar masih belum merata di seluruh dunia, dengan beberapa negara memiliki tingkat operasi caesar di bawah 7,5% dan yang lainnya setinggi lebih dari 27%.
Kemajuan medis akan terus mengoptimalkan teknologi operasi caesar agar lebih aman dan lebih efektif. Komunitas medis juga bekerja keras untuk meningkatkan standar dan pedoman operasi caesar. Dengan latar belakang ini, apakah wanita saat ini memiliki cukup pilihan dan informasi saat menghadapi pilihan obstetri?