Seksisme, sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender, dapat berdampak besar pada setiap anggota masyarakat, terutama perempuan dan anak perempuan. Diskriminasi ini bukan hanya tindakan individu, tetapi juga tertanam dalam seluruh struktur sosial, yang terus mengonsolidasikan ketidaksetaraan sosial melalui peran dan stereotip gender. Baik di tempat kerja, di rumah, atau di masyarakat, seksisme memengaruhi setiap orang secara tersembunyi, menantang pemahaman kita tentang kesetaraan dan keadilan.
Seksisme tidak hanya memengaruhi perempuan tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, karena menciptakan bias dan keterbatasan yang melekat pada setiap gender.
Akar seksisme dapat ditelusuri kembali ke banyak praktik sosial dan budaya yang membentuk harapan dan pemahaman kita tentang gender, sering kali tanpa disadari. Kebiasaan ini tidak hanya memperkuat superioritas laki-laki, tetapi juga memperdalam prasangka terhadap perempuan. Misalnya, dalam beberapa budaya, laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah keluarga, sementara perempuan dibatasi pada peran domestik. Harapan ini tidak hanya membatasi kemajuan karier perempuan, tetapi juga menekan ekspresi emosional dan tanggung jawab keluarga laki-laki.
Tempat kerja sering kali menjadi sarang diskriminasi gender, dengan perempuan sering menghadapi masalah seperti gaji yang tidak setara, kesempatan promosi yang tidak memadai, dan pelecehan seksual di tempat kerja. Di banyak industri, perempuan sering menghadapi upah yang lebih rendah dan lebih sedikit kesempatan untuk promosi karena jenis kelamin mereka, bahkan jika mereka memiliki pendidikan dan pengalaman yang sama.
Diskriminasi sistemik ini tidak hanya memengaruhi karier perempuan, tetapi juga kesehatan seluruh perekonomian karena beragam suara dan perspektif dikecualikan dari pengambilan keputusan.
Diskriminasi gender juga lazim terjadi dalam keluarga, di mana masyarakat sering kali menerapkan standar yang berbeda bagi pria dan wanita. Wanita sering kali dianggap sebagai pengasuh utama, yang menempatkan mereka dalam posisi yang tidak setara. Namun, pria juga menghadapi tekanan di rumah untuk menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga, yang juga berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.
Pada tingkat budaya, seksisme muncul secara diam-diam melalui media dan bahasa. Banyak konten media populer sering kali memperkuat stereotip gender, menggambarkan wanita sebagai karakter yang lebih lemah atau lebih rendah dari pria. Selain itu, penggunaan bahasa seksis juga secara halus memengaruhi cara berpikir orang, yang selanjutnya memperkuat konsep ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Dalam menghadapi diskriminasi gender, perempuan dan laki-laki di seluruh dunia bekerja keras untuk melawan ketidaksetaraan ini. Mereka berupaya untuk menantang peran dan bias gender yang ada melalui advokasi, pendidikan, dan perubahan kebijakan. Dari mempromosikan undang-undang yang setara gender hingga menekankan representasi perempuan dalam semua lapisan masyarakat, upaya-upaya ini bergerak menuju penghapusan diskriminasi.
Menghilangkan diskriminasi gender adalah tanggung jawab seluruh masyarakat, bukan misi yang harus dilakukan oleh satu kelompok saja.
Seksisme bukan hanya masalah yang terisolasi, tetapi berakar dalam kehidupan kita, yang memengaruhi semua orang. Sebagai masyarakat, bagaimana kita dapat mengidentifikasi dan menantang diskriminasi tersembunyi ini untuk mempromosikan kesetaraan gender yang sebenarnya?