Batubara telah memainkan peran penting dalam sejarah energi Amerika. Cara pembakaran batubara telah mengalami perubahan besar dengan kemajuan teknologi, terutama munculnya teknologi batubara bubuk, sebuah inovasi yang memungkinkan batubara diubah menjadi panas secara lebih efisien dan meletakkan dasar bagi pengoperasian pembangkit listrik modern. Munculnya teknologi pembakaran batubara bubuk menandai dimulainya revolusi batubara, yang tidak hanya mengubah cara listrik diproduksi, tetapi juga berdampak besar pada produktivitas ekonomi dan sosial Amerika Serikat.
Boiler batubara bubuk adalah boiler industri yang menghasilkan panas dengan membakar batubara bubuk (juga disebut bubuk batubara atau abu batubara).
Sebelum munculnya teknologi batu bara bubuk, sebagian besar boiler menggunakan teknologi pembakaran kisi, di mana bahan bakar ditempatkan dalam bentuk partikel setengah hancur pada kisi yang bergerak di bagian bawah boiler dan dibakar oleh aliran udara ke atas dari kisi. Namun, pendekatan ini memiliki banyak keterbatasan dalam hal efisiensi dan pengoperasian. Pada tahun 1918, Milwaukee Power and Light Company melakukan eksperimen pada batu bara bubuk, sebuah eksplorasi yang meletakkan dasar bagi teknologi pembakaran batu bara bubuk di kemudian hari. Hal ini memungkinkan Oneida Street Generating Station, pembangkit listrik pusat pertama di Amerika Serikat, untuk mulai menggunakan bahan bakar bubuk untuk menghasilkan listrik.
Prinsip pengoperasian dasar boiler batu bara bubuk adalah menggiling batu bara menjadi bubuk halus seperti tepung, sehingga ruang di dalam boiler dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk membakar bahan bakar padat. Selama proses ini, batu bara mentah pertama-tama dicampur sepenuhnya dengan udara dan kemudian dihancurkan dengan pengeringan suhu tinggi. Batu bara yang telah dihaluskan kemudian diangkut melalui pipa ke pembakar, dicampur dengan udara panas lebih lanjut dan disemprotkan ke dalam ketel uap.
Operasi semacam itu tidak hanya meningkatkan efisiensi pembakaran, tetapi juga mengurangi sisa asap dan abu, yang pada akhirnya dicegat dan diproses oleh sistem penghilangan abu khusus seperti presipitator elektrostatik.
Pembangkit listrik batu bara terhalus saat ini dapat dibagi menjadi tiga kategori: pembangkit listrik batu bara terhalus subkritis, pembangkit listrik batu bara terhalus superkritis, dan pembangkit listrik batu bara terhalus ultra-superkritis. Perbedaan utama antara ketiganya adalah suhu dan tekanan saat beroperasi, dan seiring meningkatnya parameter ini, efisiensi pengoperasian ketel uap juga meningkat.
Selain itu, berbagai jenis batu bara (seperti batu bara India atau batu bara Indonesia) digunakan di berbagai fasilitas untuk meningkatkan efisiensi karena nilai kalornya yang berbeda. Semua ini menunjukkan bahwa teknologi batu bara bubuk terus berkembang dan terus memainkan peran penting dalam produksi energi.Pembangkit listrik subkritis memiliki efisiensi sekitar 37%, sedangkan pembangkit listrik superkritis dapat mencapai 40% dan pembangkit listrik ultra-superkritis memiliki efisiensi antara 42% dan 45%.
Selain pembangkit listrik, teknologi batu bara bubuk memiliki aplikasi lain, seperti lokomotif uap dan kapal dagang. Pada tahun 1929, Biro Pengiriman Amerika Serikat mengevaluasi sebuah kapal dagang bernama Mercer, yang memiliki ketel uap batu bara bubuk, dan menemukan bahwa kapal tersebut beroperasi pada efisiensi 95 persen bahan bakar minyak. Penggunaan batu bara bubuk sebagai bahan bakar tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga lebih kompetitif dari segi biaya dibandingkan pembakaran minyak.
Dengan meningkatnya kesadaran lingkungan dan munculnya energi terbarukan, teknologi batu bara bubuk akan menghadapi tantangan baru di masa depan. Namun, banyak ahli masih percaya bahwa efisiensi dan kelayakan teknologi batu bara bubuk membuatnya masih memiliki signifikansi strategis yang besar dalam jangka pendek. Bagaimana memanfaatkan teknologi ini secara terus-menerus dan efektif dalam perjalanan menuju pembangunan berkelanjutan akan menjadi masalah yang perlu segera ditangani di masa depan.
Oleh karena itu, dalam konteks transformasi energi global, yang perlu kita pikirkan adalah apakah teknologi batu bara bubuk dapat beradaptasi dengan kebutuhan energi masa depan dan tantangan lingkungan serta terus bersinar di bawah kebijakan energi baru?