Cairan fase non-air (NAPL) adalah polutan cair organik yang relatif tidak larut dalam air. Contoh umum termasuk produk minyak bumi, tar batubara, pelarut terklorinasi, dan pestisida. Dengan perluasan strategi penanggulangan polusi pada akhir abad ke-20, penanggulangan NAPL telah mendapat perhatian yang semakin besar, tetapi pendeteksian dan penanggulangannya masih menghadapi banyak tantangan. NAPL dapat dilepaskan ke lingkungan dari berbagai sumber, termasuk penanganan bahan kimia yang tidak tepat, kebocoran dari tangki penyimpanan bawah tanah, pembuangan tangki septik, dan rembesan dari luapan atau tempat pembuangan akhir. Kompleksitas pergerakan NAPL di lingkungan bawah permukaan membuatnya sulit untuk dikarakterisasi, namun, pemahaman mendasar tentang parameter ini sangat penting untuk memilih strategi remediasi yang tepat.
Latar Belakang SejarahNAPL menimbulkan risiko yang sangat akut terhadap kesehatan manusia karena partisipasinya dalam rantai degradasi biologis, yang memungkinkannya menghasilkan bahan kimia antara.
Sebelum tahun 1978, kesadaran masyarakat akan pencemaran air tanah relatif rendah, karena air tanah secara historis telah menjadi sumber air yang penting untuk persediaan air publik, sumur pribadi, dan sistem pertanian. Secara umum diyakini bahwa kotoran akan tersaring keluar saat air melewati tanah, sehingga orang tidak terlalu memperhatikan pencemaran lingkungan bawah tanah. Pada tahun 1960-an, dengan survei skala besar literatur pencemaran air tanah, keberadaan polutan organik seperti hidrokarbon minyak bumi mulai dikenali. Dengan pengembangan kromatografi gas pada awal tahun 1970-an, menjadi mungkin untuk mendeteksi kontaminan air tanah yang tidak dapat dirasakan oleh indera manusia. Perkembangan ini mengarah pada penemuan NAPL yang sangat berbahaya seperti pelarut terklorinasi, dan mengalihkan fokus dari deteksi zat sederhana ke penelitian mendalam tentang penanganan dan penghilangan NAPL.
Perilaku NAPL di bawah permukaan dipandu oleh komposisi area di bawahnya dan sifat-sifat NAPL. Lingkungan bawah tanah dapat dibagi menjadi dua zona utama: zona tak jenuh (zona vadose) dan zona jenuh (zona freatik). Ketika cairan menembus zona tak jenuh dalam kondisi curah hujan tinggi, cairan akan menyusup ke zona jenuh jika volume cairan cukup besar. Perilaku NAPL juga terkait dengan sifat fisiknya. Menurut kepadatan NAPL relatif terhadap air, NAPL dapat dibagi menjadi cairan fase non-air ringan (LNAPL) dan cairan fase non-air berat (DNAPL).
LNAPL cenderung mengapung di atas permukaan air, sedangkan DNAPL tenggelam di bawah permukaan air. Keberadaan DNAPL menyebabkan kerusakan permanen pada sumber air tanah dan lingkungan ekologis.
Volume NAPL yang relatif kecil dapat menyebabkan kondisi beracun di air tanah, dan NAPL dapat bertahan di dalam tanah, mencemari air tanah selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad. Selain itu, pendeteksian NAPL lebih sulit karena perilaku multifasenya, sehingga strategi pendeteksian harus dikoordinasikan saat membuang NAPL. Dalam hal ini, mengukur distribusi geografis dan fase NAPL sangat penting untuk membantu menentukan kesesuaian strategi remediasi. Tentu saja, pendeteksian dan remediasi yang efektif berjalan beriringan, tidak hanya memerlukan karakterisasi tanah dan tingkat air yang spesifik tetapi juga pemantauan lingkungan secara real-time.
KesimpulanMelalui penelitian berkelanjutan, kita mungkin dapat menemukan cara yang lebih baik untuk memerangi bahaya yang tidak terlihat ini.
Cara mendeteksi dan membuang NAPL yang sulit ditemukan ini secara efektif masih menjadi tantangan yang belum terpecahkan. Kemajuan teknologi dapat memberikan solusi baru, tetapi upaya penelitian dan manajemen yang berkelanjutan merupakan kuncinya. Ketika kita menghadapi tantangan ini, dapatkah kita menerobos keterbatasan teknologi yang ada dan menemukan solusi yang efisien dan ekonomis?