Dalam komunitas ilmiah, krionika selalu menjadi arah penting dalam mengeksplorasi kelanjutan kehidupan. Pembekuan biologis, atau kriopreservasi, bertujuan untuk membekukan sel, jaringan, atau organ untuk memperpanjang masa simpannya. Teknik ini memungkinkan penangguhan efektif metabolisme seluler apa pun yang dapat merusak materi biologis dengan membekukannya pada suhu rendah (biasanya -80°C atau -196°C menggunakan nitrogen cair).
Teknologi ini tidak hanya memainkan peran penting dalam mengawetkan sampel biologis, tetapi juga memainkan peran besar dalam mengangkut sampel biologis dalam jarak jauh. Untuk mengurangi guncangan osmotik dan tekanan fisik yang dialami sel selama proses pembekuan, para peneliti sering menambahkan molekul khusus, yang disebut krioprotektan (CPA), untuk mengurangi risiko ini. Krioprotektan ini terinspirasi oleh makhluk di alam yang dapat menahan dingin, seperti pohon, katak hutan, dan beruang air.
"Mikroorganisme seperti beruang air menahan pembekuan dengan mengganti sebagian besar air internalnya dengan gula, yang mencegah kristalisasi, yang dapat merusak membran sel."
Di alam, banyak organisme memiliki kemampuan antibeku yang menakjubkan. Katak kayu, misalnya, mampu mengumpulkan urea dalam darah dan jaringan lain sebagai persiapan menghadapi musim dingin. Ketika dihadapkan pada pembentukan kristal es internal, glikogen di hati juga diubah menjadi glukosa dalam jumlah besar. Semua zat ini bertindak sebagai krioprotektan, membatasi pembentukan es dan mengurangi penyusutan osmotik sel. Penelitian telah menunjukkan bahwa katak dapat bertahan hidup dari beberapa peristiwa pembekuan dan pencairan selama musim dingin selama 65% air tubuh mereka tetap utuh.
Teori awal kriopreservasi, yang diajukan oleh James Lovelock pada tahun 1953, adalah bahwa kerusakan sel darah merah selama proses pembekuan terutama disebabkan oleh tekanan osmotik. Ia melakukan serangkaian percobaan yang menunjukkan bahwa beberapa hewan, seperti hamster, dapat menahan pembekuan 60% kandungan airnya dalam kondisi pendinginan lambat.
Dengan kemajuan teknologi kriogenik, kriopreservasi bahan manusia mulai memasuki tahap aplikasi pada tahun 1954, dan kemudian, pada tahun 1966, jenazah manusia pertama dikriopreservasi. Pada tahun 1967, tubuh James Bedford menjadi yang pertama dalam sejarah yang dikriopreservasi dengan harapan dapat dibangkitkan kembali di masa mendatang.
Selama kriopreservasi, sel mungkin menghadapi berbagai risiko kerusakan, termasuk efek larutan, pembentukan kristal es ekstraseluler, dehidrasi, dan pembentukan kristal es intraseluler. Meskipun efek ini dapat dikurangi dengan krioprotektan, setelah pembekuan, perlindungan bahan yang diawetkan terhadap kerusakan lebih lanjut ditingkatkan.
"Ketika sel dibekukan, jika laju pendinginan cukup lambat, cukup banyak air yang dapat meninggalkan sel untuk menghindari pembentukan kristal es internal yang mematikan."
Teknik utama untuk mencegah kerusakan krioterapi meliputi laju pendinginan terkendali dan pembekuan lambat, serta teknik baru yang disebut vitrifikasi. Teknologi pembekuan terprogram lambat telah banyak digunakan di berbagai bidang termasuk biologi manusia, hewan, dan sel.
Proses vitrifikasi mendinginkan sampel dengan cepat, mencegah terbentuknya kristal es, sehingga mengurangi potensi kerusakan selama proses pembekuan. Teknologi ini telah diperkenalkan untuk kriopreservasi reproduksi sejak pertengahan 1980-an dan telah berhasil diterapkan dalam berbagai praktik klinis hingga saat ini.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penerapan kriopreservasi tidak terbatas pada pengawetan sampel biologis, tetapi juga akan meluas ke bidang-bidang seperti terapi gen dan penelitian sel punca. Teknologi kriopreservasi membuka prospek yang luas untuk penelitian biologis dan aplikasi klinis di masa mendatang.
Bagi banyak orang atau makhluk yang menghadapi ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka, kemajuan teknologi ini berarti kemungkinan menemukan kehidupan baru di masa depan. Bukankah ini layak untuk kita pertimbangkan secara mendalam?