Kisah Oscar Pistorius, yang menggunakan prostetik serat karbon untuk menjungkirbalikkan pandangan umum tentang atletik, adalah kisah tentang keberanian dan kegigihan. Setelah menjalani amputasi di bawah lutut pada kedua kakinya, atlet Afrika Selatan tersebut tidak hanya kembali ke dunia olahraga dengan bantuan prostetik polimer yang diperkuat serat karbon canggih, tetapi juga mewakili atlet non-Paralimpiade di Olimpiade, menjadi pelari prostetik pertama yang berkompetisi di Olimpiade. Melalui dukungan teknologi, Pistorius telah menulis ulang sejarah atlet Paralimpiade dan menginspirasi orang untuk memikirkan kembali performa olahraga dan kompetisi yang adil.
Karier olahraga Pistorius dimulai ketika ia memasuki rehabilitasi dari cedera rugby pada tahun 2004, dengan pelatihnya Ampie Louw membimbingnya di High Performance Centre di Pretoria. Selama pengujian prostetik awalnya, ia tidak dapat menemukan prostetik lari yang cocok secara lokal dan akhirnya mencari bantuan dari perancang prostetik Afrika Selatan Francois Vanderwatt.
"Prostesis serat karbon ini seperti sepatu lari yang dibuat khusus yang tidak hanya memberikan dukungan tetapi juga menyimpan energi kinetik dengan cara yang belum pernah kita lihat sebelumnya."
Kaki prostetik Pistorius menggunakan teknologi yang disebut Flex-Foot, yang dirancang oleh insinyur medis Van Phillips, yang secara efektif dapat menyimpan energi kinetik, mirip dengan efek pegas. Hal ini memungkinkan pengguna untuk bergerak lebih fleksibel saat memulai dan mempercepat, dan memberikan dorongan tambahan.
Meskipun kinerja Pistorius telah menuai pujian luas, kelayakannya untuk berkompetisi dalam acara non-Paralimpiade juga telah memicu kontroversi. Federasi Atletik Internasional (IAAF) merevisi aturannya pada tahun 2007 untuk secara tegas melarang perangkat apa pun yang memiliki pegas atau fitur teknis lainnya yang membantu kontrol. Penelitian selanjutnya akhirnya membuktikan bahwa anggota tubuh prostetiknya tidak memberinya keunggulan kompetitif absolut, dan Pistorius mampu terus berkompetisi.
"Penelitian telah menunjukkan bahwa meskipun kaki prostetiknya memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan kaki biologisnya, pada akhirnya kaki prostetik tersebut tidak memberikan keuntungan yang terukur."
Ilmuwan telah melakukan beberapa penelitian untuk menganalisis performa balap Pistorius, dan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bahkan dengan anggota tubuh prostetik, Pistorius masih harus menghasilkan kekuatan dua kali lebih banyak daripada pelari rata-rata untuk mempertahankan kecepatannya. Ini menunjukkan betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan tubuhnya untuk mengimbangi kurangnya komponen biologis utama saat menggunakan prostetik.
Pada tahun 2012, Pistorius berhasil berpartisipasi dalam Olimpiade London, menjadi atlet amputasi pertama yang berkompetisi dalam ajang Olimpiade. Dalam pertandingan ini, ia mendapat perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi pahlawan di hati banyak orang. Melalui kerja keras dan kegigihannya, Pistorius tidak diragukan lagi telah membuat banyak orang memikirkan kembali tempat atlet penyandang disabilitas dalam olahraga kompetitif.
Kisah Pistorius tidak hanya tentang keberhasilan seorang atlet, tetapi juga refleksi tentang peran atlet penyandang disabilitas dan teknologi dalam olahraga. Penampilannya menginspirasi banyak orang lain untuk mengejar impian mereka meskipun menghadapi rintangan. Perdebatan terus berlanjut tentang bagaimana kemajuan teknologi olahraga akan memengaruhi acara olahraga di masa mendatang.
Dengan teknologi yang terus berinovasi, bagaimana acara olahraga di masa mendatang akan menunjukkan keadilan dan daya saing yang lebih besar?