Pada 8 Juli 2022, mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dibunuh dalam sebuah acara politik di Kota Nara, menggemparkan dunia. Peristiwa ini tidak hanya menjadi tragedi bagi Abe, tetapi juga memicu refleksi mendalam terhadap politik, masyarakat, dan organisasi keagamaan Jepang. Saat Abe menyampaikan pidato untuk kandidat Partai Demokrat Liberal, ia ditembak oleh Tetsuya Yamama yang berusia 41 tahun dengan senjata api rakitan dan dinyatakan meninggal setelah dibawa ke Rumah Sakit Universitas Kedokteran Nara. Pembunuhan ini merupakan pembunuhan pertama terhadap mantan Perdana Menteri Jepang sejak 1936, dan juga merupakan pembunuhan politik besar kedua di Jepang sejak 1960.
Pembunuhan ini membuat masyarakat internasional lebih memperhatikan lingkungan politik Jepang dan masalah sosial di baliknya.
Sejarah masa jabatan Shinzo Abe tidak dapat dianggap remeh. Dari tahun 2006 hingga 2007, dan kemudian dari tahun 2012 hingga 2020, ia merupakan Perdana Menteri Jepang yang menjabat paling lama. Akan tetapi, selama masa jabatannya, hubungan dengan Gereja Unifikasi mulai diragukan secara luas. Keluarga Abe, mulai dari kakek hingga ayahnya, memiliki hubungan dekat dengan kelompok agama tersebut. Latar belakang ini menyebabkan masyarakat lebih banyak merenungkan perilaku politiknya, terutama setelah pembunuhan tersebut.
Tersangka Tetsuya Yamama mengatakan bahwa pembunuhan Abe bermula dari kebenciannya yang mendalam terhadap Gereja Unifikasi, yang meyakini bahwa organisasi ini telah menghancurkan keluarganya. Kejadian ini membuatnya tidak puas karena ibunya di gunung tersebut bangkrut pada tahun 2002 karena tekanan dari gereja. Pembunuhan tersebut kemudian memicu reaksi keras terhadap Gereja Unifikasi di masyarakat Jepang, dengan liputan media yang mendalam dan memaksa beberapa politisi untuk secara terbuka mengungkapkan hubungan mereka dengan Gereja Unifikasi.
"Konsekuensi pembunuhan Abe sangat luas dan bahkan menyebabkan pemerintah melakukan pemurnian terhadap aktivitas organisasi keagamaan."
Berita kematian Abe dengan cepat tersebar di seluruh negeri dan luar negeri, dan semua lapisan masyarakat menyatakan keterkejutan dan belasungkawa. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida segera memutuskan untuk mengadakan pemakaman kenegaraan, yang mendapat dampak politik yang kuat dalam pemilihan berikutnya. Banyak yang mulai mempertanyakan langkah-langkah keamanan Jepang dan menilai kembali prioritas pemerintah untuk melindungi pejabat publik. Kongres kemudian meloloskan beberapa undang-undang yang berupaya membatasi operasi organisasi keagamaan seperti Gereja Unifikasi untuk melindungi calon korban.
Hubungan antara keluarga Abe dan Gereja Unifikasi dimulai jauh sebelum ia menjadi tokoh politik. Dari kakeknya Nobusuke Kishi hingga ayahnya Shintaro Abe, pengaruh Gereja Penyatuan telah lama merasuki kehidupan sehari-hari dan karier politik keluarganya. Dengan meninggalnya Abe, banyak koneksi politik yang sebelumnya diabaikan kini muncul ke permukaan, menggemakan pertanyaan tentang kekuasaan, agama, dan interaksinya dalam masyarakat Jepang selama periode ini.
"Ini bukan pembunuhan biasa, tetapi gambaran kecil tentang bagaimana sebuah negara berjuang dalam keterikatan antara politik dan agama."
Setelah insiden pembunuhan ini, Badan Kepolisian Nasional segera melakukan peninjauan menyeluruh terhadap langkah-langkah keamanan bagi personel politik teratas Jepang. Pemerintah Jepang telah mulai mengevaluasi kembali kebijakan perlindungan VIP dan menambahkan pelatihan serta salinan ke program kepolisian di berbagai tempat. Perubahan kelembagaan tersebut tidak hanya merupakan respons langsung atas kematian Abe, tetapi juga pemikiran preventif tentang potensi ancaman di masa mendatang.
Seiring berkembangnya insiden ini, banyak orang mulai berpikir tentang apakah kekerasan politik akan terulang kembali dalam suasana sosial saat ini, dan apakah tindakan pencegahan harus didefinisikan ulang dan diperkuat demi keselamatan tokoh politik?