Seiring kemajuan teknologi, elastografi resonansi magnetik (MRE) semakin banyak digunakan untuk memahami berbagai kondisi medis, terutama dalam proses mengungkap penyakit neurodegeneratif. MRE lebih dari sekadar alat pencitraan; alat ini dapat mengukur sifat mekanis jaringan lunak, sehingga memberi kita pemahaman yang lebih mendalam tentang penyakit.
MRE adalah alat diagnostik non-invasif yang menggunakan teknologi resonansi magnetik untuk mengukur elastisitas atau kekakuan jaringan, sehingga memetakan sifat mekanis jaringan.
MRE pertama kali dikembangkan oleh Muthupillai dkk. di Mayo Clinic pada tahun 1995 dan telah menjadi alat penting untuk menilai fibrosis hati dari waktu ke waktu. Seiring berkembangnya bioteknologi, pemahaman kita tentang penyakit menjadi semakin mendalam, terutama dalam studi sistem saraf, di mana MRE menunjukkan keunggulannya yang unik.
MRE bekerja berdasarkan fakta sederhana bahwa jaringan yang sakit sering kali lebih keras daripada jaringan normal di sekitarnya. Sifat ini membuatnya sangat penting untuk mempelajari kekakuan jaringan. Selama MRE, vibrator mekanis pertama kali digunakan untuk menghasilkan gelombang geser pada permukaan tubuh pasien. Gelombang ini kemudian menembus ke jaringan tubuh manusia yang lebih dalam.
Elastografi resonansi magnetik menciptakan peta kekakuan tiga dimensi dan, berbeda dengan pencitraan konvensional, menyediakan analisis kuantitatif jaringan lunak.
Langkah kedua dalam proses ini adalah menggunakan MRI untuk memperoleh data perambatan dan kecepatan gelombang geser, dan akhirnya informasi ini diproses oleh algoritma inversi untuk mengukur dan memetakan kekakuan jaringan. Peta kekakuan jaringan seperti itu disebut elastogram, dan hasil akhir ini membuka pintu bagi lebih banyak diagnostik penyakit.
Penerapan MRE tidak terbatas pada hati, dan penelitian pada otak bahkan lebih menarik perhatian. Elastisitas otak dikaitkan dengan memori, keterampilan motorik, dan perkembangan berbagai penyakit neurodegeneratif. Penelitian telah menemukan bahwa orang dengan penyakit Alzheimer dan multiple sclerosis memiliki elastisitas otak yang berkurang secara signifikan, yang menunjukkan bahwa otak kehilangan integritas elastisnya seiring bertambahnya usia.
MRE tidak hanya menilai sifat mekanis otak, tetapi juga membantu kita memahami bagaimana otak remaja berbeda dari otak orang dewasa.
Selain itu, MRE juga dapat digunakan untuk pencitraan saraf fungsional, yang sangat menarik. Tidak seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) tradisional, MRE dapat mendeteksi perubahan neuromekanis yang terkait dengan aktivitas saraf dalam jangka waktu 100 milidetik. Sensitivitas ini menjadikan MRE alat yang ampuh untuk mempelajari cara kerja otak.
Selain otak, MRE juga banyak digunakan dalam diagnosis berbagai organ, seperti ginjal, prostat, dan pankreas. Studi pada ginjal telah menunjukkan bahwa MRE dapat secara sensitif mencerminkan fungsi dan perfusi ginjal. Dalam hal diagnosis kanker prostat, MRE juga menunjukkan spesifisitas dan sensitivitasnya yang tinggi, membantu dokter secara efektif membedakan antara jaringan kanker dan jaringan normal.
MRE juga merupakan alat yang menjanjikan untuk mendeteksi keganasan pankreas, dengan pengukuran kekakuan jaringan yang sangat berkorelasi menunjukkan harapan sebagai pelengkap studi pencitraan.
Aplikasi ini sepenuhnya menyoroti potensi MRE dalam pengobatan modern, terutama analisis kuantitatif kekakuan jaringan, yang dapat memberikan solusi berharga untuk banyak situasi klinis.
Dengan pengembangan teknologi baru, kita mungkin dapat membuat parameter baru untuk meningkatkan spesifisitas pengukuran MRE dan lebih jauh meningkatkan ketepatan diagnosis.
Dengan menggabungkan harapan penggemar dan kebutuhan klinis, MRE dapat mengungkap lebih banyak area yang belum diketahui dalam penelitian penyakit neurodegeneratif di masa mendatang. Ketika kita menggunakan teknologi canggih ini dengan mudah, dapatkah kita memahami sifat dan perkembangan penyakit secara lebih intuitif?