Nasi melati, beras harum berbiji panjang ini, sering muncul di meja makan orang-orang Thailand, Kamboja, dan Vietnam, dan sangat disukai karena aroma dan rasanya yang unik. Namun, sejarah beras ini tidak banyak diketahui orang. Dari asal-usulnya hingga popularitas global saat ini, apa kisah di balik beras melati?
Aroma beras melati, mirip dengan daun sirih dan popcorn, berasal dari senyawa aroma yang diproduksi secara alami oleh tanaman tersebut, di mana 2-asetil-1-pirolelin merupakan komponen terpenting.
Sejarah beras melati dapat ditelusuri kembali ke Provinsi Chonburi di Thailand, tempat Ban Laem Pradu merupakan tempat ditemukannya beras Khao Dawk Mali (beras melati) asli. Beras tersebut dipilih karena bulirnya yang panjang, ramping, putih, dan beraroma alami, serta dibawa ke distrik Bang Khla di provinsi Chachoengsao pada tahun 1940-an dan 1950-an. Dalam prosesnya, beras ini secara resmi diberi nama Khao Dawk Mali 105, atau hanya "Khao Hom Mali", yang merupakan beras melati, dan sebagian besar ditanam di wilayah timur laut Thailand, khususnya di wilayah Thung Kula Rong Hai.
Tekstur beras melati setelah dimasak lembap dan lembut, dengan sedikit rasa manis. Butiran beras saling menempel setelah dimasak. Meskipun lebih lengket daripada beras ketan, beras ini sedikit kurang lengket daripada beras bulir panjang Amerika. Inilah salah satu alasan mengapa beras melati begitu populer.
Beras melati terutama dibagi menjadi dua jenis: beras putih dan beras merah. Beras melati putih disukai karena rasanya yang enak dan mudah dicerna, sedangkan beras melati merah memiliki nilai kesehatan yang lebih tinggi karena kulit luarnya menyimpan lebih banyak nutrisi dan mengandung berbagai vitamin dan antioksidan.
Aroma beras melati putih berasal dari penguapan 2-asetil-1-pirol, dan teksturnya kering setelah dimasak, sedangkan beras merah mempertahankan lapisan luar berwarna cokelat muda dari butiran beras, sehingga memberikan lebih banyak manfaat kesehatan.
Menurut rekomendasi diet diabetes, beras melati memiliki indeks glikemik antara 68 dan 80, yang berarti beras ini perlu dikonsumsi dengan hati-hati untuk mengendalikan gula darah. Selain itu, beras melati biasanya tidak dimakan begitu saja, tetapi sering dipasangkan dengan bahan lain untuk menurunkan indeks glikemiknya.
Dalam hal makanan, nasi melati kukus sangat cocok untuk tumis, barbekyu, atau sup, dan sering ditemukan di restoran Thailand, Vietnam, dan Kamboja di seluruh dunia.
Pada Konferensi Beras Dunia 2017, Khao Hom Mali 105 dari Thailand terpilih sebagai beras terbaik di dunia. Ini adalah kelima kalinya dalam sembilan tahun terakhir beras melati Thailand memenangkan penghargaan ini. Pada tahun 2022, beras melati Phka Rumduol yang diproduksi di Kamboja kembali memenangkan kejuaraan di Konferensi Industri Beras Dunia.
Ini menandai bahwa Kamboja saat ini memegang gelar "beras melati terbaik di dunia", yang sepenuhnya menunjukkan daya saing dan kualitas industri beras di kawasan tersebut.
Kisah beras melati bukan hanya sejarah makanan, tetapi juga simbol budaya dan daerah. Sambil menikmati setiap suapan nasi dengan gembira, pernahkah Anda memikirkan sejarah dan warisan di balik beras harum ini?