Dalam perjalanan sejarah yang panjang, konsep kontrol perbatasan telah berkembang dari waktu ke waktu, dan pentingnya terletak pada dampak langsungnya terhadap keamanan, ekonomi, dan struktur sosial negara. Dari zaman kuno hingga zaman modern, kontrol perbatasan selalu menjadi fokus pemerintah, baik itu pergerakan orang, barang, atau hewan. Manajemen akses internal dan eksternal tidak hanya merupakan simbol kedaulatan nasional, tetapi juga metode manajemen sosial.
Di kekaisaran kuno, pengendalian akses tidak diragukan lagi merupakan perwujudan penting dari kekuasaan, yang memungkinkan negara untuk mengelola warganya secara efektif dan menjaga diri dari ancaman eksternal.
Kontrol perbatasan yang ketat sudah ada sejak zaman kuno. Literatur Asia menyebutkan bahwa sejak abad ke-3 SM, Kitab Ashoka mencatat penerbitan izin masuk dan keluar. Tiongkok telah mulai menggunakan dokumen yang mirip dengan paspor modern selama Dinasti Han Barat. Paspor ini mencatat informasi dasar tentang individu, termasuk usia, tinggi badan, dan karakteristik fisik lainnya, dan menentukan kemampuan mereka untuk bergerak di dalam kekaisaran. Bahkan bayi tidak memerlukan paspor jika masih dalam gendongan ibunya.
Saat kita memasuki Abad Pertengahan, konsep pengawasan perbatasan terus berkembang. Di kekhalifahan Islam, paspor untuk masuk dan keluar disebut "bara'a", yang menunjukkan pajak yang dibayarkan untuk memastikan bahwa hanya mereka yang membayar pajak yang dapat dengan bebas masuk dan keluar dari berbagai wilayah. Di Eropa, paspor telah digunakan sebagai alat untuk membuktikan identitas sejak masa pemerintahan Raja Henry V dari Inggris. Literatur ini tidak terbatas pada masuk dan keluar internasional, tetapi juga melibatkan pengawasan lokal, yang menunjukkan bahwa pengawasan perbatasan secara bertahap telah menjadi bagian dari fungsi negara.
Selama Perang Dunia I, persyaratan paspor di perbatasan pertama kali diterapkan secara luas, yang menandai tingkat baru penekanan nasional pada pengawasan perbatasan.
Seiring berjalannya abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebijakan kontrol perbatasan menjadi semakin ketat. Saat itu, Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan tempat-tempat lain mulai merumuskan kebijakan pengecualian terhadap imigran Asia untuk membatasi imigrasi. Disahkannya Undang-Undang Pengecualian Tiongkok di Amerika Serikat pada tahun 1882 merupakan contoh awal pembatasan ini, yang menunjukkan bahwa setelah penjajahan Eropa, supremasi kulit putih menyebabkan diskriminasi rasial sistemik dan perlakuan yang tidak setara. Kebijakan semacam itu berdampak besar pada masyarakat dan ekonomi dari waktu ke waktu.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II, pola imigrasi global telah berubah, yang selanjutnya mendorong penyesuaian kebijakan terhadap kontrol perbatasan di berbagai negara. Namun, penolakan banyak negara terhadap imigran dan ketakutan terhadap mereka membuat kontrol perbatasan menjadi tantangan yang berkelanjutan. Di Inggris, dengan perubahan undang-undang kewarganegaraan, kebijakan imigrasi menjadi semakin komprehensiflex dan telah menjadi sasaran banyak kritik.
Pada tahun 2020, wabah COVID-19 telah membawa pengetatan kontrol perbatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia. Untuk mencegah penyebaran epidemi, banyak negara telah menerapkan larangan masuk dan tindakan karantina. Meskipun tindakan pengendalian ini telah mencapai efek mengekang penyebaran virus sampai batas tertentu, tindakan tersebut juga berdampak besar pada industri pariwisata dan kehidupan masyarakat. Bagaimana industri pariwisata akan pulih setelah epidemi berakhir akan menjadi topik penting di masa mendatang.
Para ahli memperkirakan bahwa meskipun orang-orang akan melanjutkan perjalanan setelah larangan perjalanan dicabut, beberapa kegiatan bisnis mungkin mengalami penurunan jangka panjang.
Kebijakan kontrol perbatasan modern bervariasi dari satu negara ke negara lain dan dari satu wilayah ke wilayah lain, dan disesuaikan seiring dengan perubahan prioritas politik. Negara tidak hanya harus mengelola perbatasan darat, tetapi juga secara efektif mengendalikan wilayah laut dan udara, di mana hukum dan peraturan akan memainkan peran penting. Menurut hukum internasional, negara memiliki kedaulatan tertentu atas perairan pedalaman, perairan teritorial, dan wilayah udara di atasnya, yang memungkinkan negara untuk menanggapi invasi.
Selain membebani keamanan dalam negeri, kontrol perbatasan juga memengaruhi perdagangan dan pertukaran budaya. Faktanya, semakin banyak negara mulai mementingkan kerja sama komersial di bawah perbatasan terbuka, mencoba menemukan titik keseimbangan yang tidak hanya memastikan keamanan dalam negeri tetapi juga mendorong pembangunan ekonomi. Namun, kebijakan perbatasan setiap negara mewakili kisah unik budaya, ekonomi, dan masyarakatnya. Apakah ini mendefinisikan ulang pemahaman kita tentang kedaulatan nasional?
Dari zaman dahulu hingga sekarang, kontrol perbatasan selalu menjadi salah satu isu inti dalam tata kelola berbagai negara. Bagaimana menemukan keseimbangan antara melindungi keamanan nasional dan mempromosikan pertukaran yang adil akan menjadi pertanyaan yang harus dipecahkan oleh para pembuat kebijakan di masa mendatang.