Pada tahun 1949, Prinsip Keadilan yang diperkenalkan oleh Komisi Komunikasi Federal (FCC) adalah kebijakan yang mengharuskan pemegang lisensi penyiaran untuk secara tidak memihak mencerminkan pandangan semua pihak dan membahas isu-isu sosial utama saat menyiarkan. Namun, kebijakan tersebut dicabut pada tahun 1987 hingga peraturan tersebut secara resmi dihapus dari Federal Register pada tahun 2011, yang mendorong munculnya era media digital dan memicu pemikiran ulang tentang suara publik. Apakah usulan prinsip keadilan disebabkan oleh permintaan publik atau pengaruh kekuatan politik?
Prinsip keadilan tidak hanya diharapkan dapat meningkatkan persepsi khalayak tentang isu-isu sosial, tetapi juga memungkinkan berbagai perspektif untuk didiskusikan secara luas.
Prinsip keadilan mengandung dua elemen utama: di satu sisi, prinsip ini mengharuskan media penyiaran untuk menyediakan liputan isu-isu penting secara sosial dalam program mereka, dan di sisi lain, prinsip ini mengharuskan media-media ini untuk menunjukkan perspektif yang berbeda. Hal ini memberikan ruang yang luas bagi stasiun penyiaran untuk mencapai tujuan melalui berbagai bentuk seperti laporan berita, program urusan publik, atau tajuk rencana. Namun, hal ini tidak mengharuskan pandangan yang berlawanan untuk disajikan dalam waktu yang sama, tetapi hanya penyajian pandangan yang berbeda secara tidak memihak. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memungkinkan audiens terpapar pada berbagai perspektif dan dengan demikian membentuk opini mereka sendiri.
Asal usul prinsip kewajaran dapat ditelusuri kembali ke tahun 1938, ketika pengacara Lawrence J. Flynn mengajukan dakwaan terhadap radio WAAB yang berbasis di Boston, dengan klaim bahwa mereka menyiarkan pandangan politik hanya dari satu partai. Seiring berkembangnya industri penyiaran, FCC akhirnya mengeluarkan apa yang disebut "Plum Blossom Decision" pada tahun 1941, yang mengharuskan media penyiaran untuk mempertahankan posisi netral dalam liputan berita. Pada tahun 1949, FCC menegaskan kembali posisinya, dengan secara resmi mencabut plum decision dan memperkenalkan prinsip kewajaran.
Mahkamah Agung AS mengakui justifikasi FCC untuk menegakkan prinsip keadilan dalam kasus Red Lion Broadcasting Co. v. FCC tahun 1969 dan menganggap perlu untuk memastikan akses publik terhadap informasi yang beragam.
Dengan penerapan prinsip keadilan, banyak blok politik dan media berita mulai menggunakan kebijakan ini sebagai tanggapan terhadap lawan mereka, bahkan meminta stasiun penyiaran untuk memberikan informasi tandingan ketika isu-isu tertentu disebutkan. Karena kelangkaan frekuensi siaran, undang-undang tersebut memperoleh dukungan Pengadilan bahwa masyarakat harus mempertimbangkan cara memastikan keberadaan berbagai suara dalam sumber daya yang terbatas.
Namun, dengan perkembangan media sosial dan semakin dalamnya perpecahan politik, prinsip keadilan dihapuskan pada tahun 1987, yang diyakini banyak orang telah secara bertahap mengintensifkan polarisasi dalam masyarakat Amerika. Secara khusus, munculnya stasiun radio konservatif telah membuat suara beberapa media komunikasi meningkattidak dibatasi secara khusus, sehingga menghasilkan berbagai pelaporan yang sangat berorientasi.
Prinsip keadilan tidak hanya berlaku untuk televisi atau penyiaran, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana isu-isu publik sosial disajikan dan mendorong dialog.
Dalam berbagai proses hukum, Mahkamah Agung juga telah menyatakan pentingnya kebijakan tersebut bagi berfungsinya demokrasi. Dalam Red Lion, pengadilan menyatakan bahwa "memegang lisensi tidak berarti memiliki hak untuk mengendalikan frekuensi, tetapi menyediakan platform bagi berbagai perspektif." Putusan tersebut berarti bahwa media penyiaran tidak hanya menjadi alat untuk mencari keuntungan, tetapi juga pemeliharaan masyarakat. Peran penting keragaman dan kepentingan publik.
Namun, dengan datangnya tahun 1990-an, prinsip keadilan secara bertahap menghadapi tantangan. Beberapa tokoh politik serta personel media percaya bahwa keterbukaan pasar dan lebih banyak pilihan media membuat kebijakan tersebut tampak ketinggalan zaman. Setelah beberapa kali mencoba untuk mengembalikan kebijakan tersebut, sejauh ini tidak ada keberhasilan.
Pada tahun 2005, Perwakilan DPR Louise Slaughter dan yang lainnya mencoba untuk memperkenalkan rancangan undang-undang tentang keadilan dan akuntabilitas dengan harapan untuk memperkenalkan kembali prinsip kesetaraan, tetapi usulan tersebut tidak memperoleh dukungan yang cukup karena meningkatnya pertentangan partai politik. Meskipun demikian, ada banyak suara yang berpendapat bahwa kebijakan ini harus dihidupkan kembali untuk melindungi keberagaman dan kesetaraan dialog publik.
“Apakah kembalinya prinsip keadilan akan membuat wacana politik saat ini lebih rasional dan beragam?”
Baru-baru ini, dengan perubahan suasana sosial, banyak suara yang mendukung prinsip kebangkitan keadilan telah muncul kembali. Banyak yang mempertanyakan cara media saat ini beroperasi dan berharap untuk mempromosikan lebih banyak dialog dan pemahaman dengan membangun kembali prinsip-prinsip kesetaraan. Bagaimana menemukan keseimbangan antara banyak pemain dan suara sehingga setiap orang dapat mengekspresikan pandangan mereka secara adil tidak diragukan lagi merupakan tantangan utama yang dihadapi perkembangan media modern.