Rasa sakit dan emosi sering kali saling terkait dalam perjalanan hidup, sehingga penting untuk memahami peran opioid endogen dalam tubuh kita. Zat kimia ini, yang diproduksi dalam sistem saraf tubuh, berinteraksi dengan reseptor opioid tertentu dan memainkan peran penting dalam pengaturan suasana hati dan penghilang rasa sakit.
Reseptor opioid adalah sekelompok reseptor yang digabungkan dengan protein G penghambat, yang sebagian besar diikat oleh zat opioid endogen seperti endorfin dan granulosibin.
Reseptor ini tersebar luas dan dapat ditemukan di otak, sumsum tulang belakang, dan sistem saraf tepi. Sejak pertengahan 1960-an, para ilmuwan mulai menyadari bahwa opioid tidak bekerja secara acak pada tubuh, tetapi bekerja melalui reseptor tertentu. Pada tahun 1971, studi identifikasi reseptor opioid pertama diterbitkan, yang mengonfirmasi bahwa efek opioid di otak dikaitkan dengan reseptor tertentu.
Kesamaan struktural antara reseptor ini dapat mencapai hingga 70%, tetapi fungsinya dalam konteks tertentu sangat berbeda.
Reseptor opioid terutama dibagi menjadi empat kategori, termasuk μ (mu), δ (delta), κ (kappa) dan reseptor nociceptin baru, yang secara bersama-sama bertanggung jawab untuk mengatur persepsi nyeri, emosi, dan perilaku. Reseptor tipe μ, khususnya, dianggap penting dalam meningkatkan perasaan bahagia, percaya, dan puas. Penelitian telah menunjukkan bahwa reseptor ini dapat meningkatkan pembentukan perilaku sosial, yang juga membantu mengamati pentingnya hubungan sosial.
Reseptor diberi nama berdasarkan ligan tempat pertama kali ditemukannya, dengan reseptor μ dinamai berdasarkan morfin, yang pertama kali mengikat. Aktivasi reseptor μ tidak hanya menghilangkan nyeri, tetapi juga meningkatkan stabilitas hubungan interpersonal sampai batas tertentu. Bagaimana reseptor ini membentuk emosi dan perilaku kita menjadi hal yang sangat menarik bagi para ilmuwan.
Melalui studi perilaku hewan, para ilmuwan telah menemukan bahwa sistem opioid endogen berperan penting dalam perilaku sosial hewan seperti tikus, anjing, dan ayam.
Tidak hanya itu, keberadaan reseptor opioid juga terkait erat dengan berbagai kondisi dan perilaku emosional. Studi telah menemukan bahwa aktivasi reseptor tipe μ dapat memicu rasa rileks, sementara perubahan pada reseptor tipe kappa mungkin terkait dengan kecemasan kronis. Penemuan ini telah menyebabkan pemikiran ulang tentang peran sistem opioid dalam gangguan kejiwaan. Para ilmuwan telah lama bingung mengapa kondisi emosional tertentu lebih menonjol dalam gangguan kejiwaan, dan ini mungkin disebabkan oleh aktivitas regulasi reseptor opioid.
Reseptor opioid tidak hanya berperan penting dalam pengaturan suasana hati, tetapi juga terkait erat dengan persepsi tubuh terhadap rasa sakit. Ketika ligan opioid berikatan dengan reseptor, proses pensinyalan memicu perubahan kimia dalam neuron yang pada akhirnya menyebabkan penurunan persepsi nyeri. Kunci dalam proses ini adalah aktivasi protein G dan penyesuaian metode daya hampa.
Ketika opioid berikatan dengan reseptor, reseptor mengalami perubahan konformasi, yang menyebabkan GDP dalam protein G dilepaskan dan digantikan oleh GTP, yang memungkinkan sinyal ditransmisikan lebih lanjut.
Proses pensinyalan ini tidak terbatas pada pengaturan nyeri, tetapi juga terkait dengan pembentukan memori jangka panjang dan perubahan suasana hati. Melalui penelitian mendalam tentang proses ini, para ilmuwan telah menemukan bahwa pengaturan reseptor opioid dapat menjadi pengobatan baru untuk depresi dan kecemasan. Para ilmuwan berharap bahwa dengan memahami mekanisme kerja bahan kimia endogen ini, mereka akan dapat mengembangkan pengobatan yang lebih efektif dan menangani efek samping opioid dengan cara yang bersahabat.
Secara umum, pentingnya opioid endogen dalam emosi dan perilaku tidak dapat diremehkan, dan regulasinya mungkin memiliki dampak yang mendalam pada perilaku sosial manusia, persepsi nyeri, dan kognisi emosional. Namun, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengungkap bagaimana kekuatan penghilang rasa sakit yang misterius ini secara tepat membentuk emosi dan perilaku kita. Mungkin penemuan baru di bidang ini tidak hanya akan membantu memajukan pengobatan, tetapi juga memungkinkan kita untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang dunia emosional kita sendiri?