Di Jepang, struktur nama sangat berbeda dengan budaya Barat. Sudah menjadi kesan umum bahwa ketika seseorang memikirkan nama Jepang, hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah nama keluarga. Di Jepang modern, cara penulisan nama yang umum adalah "nama keluarga + nama pemberian", yaitu, nama keluarga selalu diletakkan di depan dan nama pemberian mengikutinya.
Akar dari struktur ini dapat ditelusuri kembali ke latar belakang sejarah dan budaya Jepang, yang menggabungkan makna garis keturunan keluarga dan status sosial.
Nama-nama Jepang sebagian besar terdiri dari dua bagian: nama keluarga (atau nama keluarga) dan nama pribadi. Dibandingkan dengan struktur nama umum di beberapa budaya, ini adalah sesuatu yang dianggap biasa oleh orang Jepang. Nama keluarga membawa sejarah keluarga dalam nama pemberian, sementara nama pemberian menambahkan karakteristik pribadi. Dalam situasi formal, menggunakan nama keluarga untuk memanggil orang lain menunjukkan rasa hormat dan mencerminkan pemahaman budaya Jepang tentang kelas sosial.
Di Jepang, nama keluarga umumnya diwakili oleh beberapa kata seperti "marga", "marga marga", dan "marga marga", dan masing-masing kata ini memiliki konotasi historis yang berbeda. "Marga marga" yang paling awal adalah gelar khusus bangsawan laki-laki yang diberikan oleh kaisar, sedangkan "marga marga" mengacu pada kelompok keluarga, yang mencerminkan hubungan keluarga dan darah. "Miao Zi" adalah nama yang dipilih oleh keluarga. Setelah diputuskan, nama tersebut dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga.
Faktanya, kebiasaan menggunakan nama keluarga berasal dari periode Muromachi, secara bertahap menjadi populer pada periode Edo, dan akhirnya menjadi konsensus sosial.
Saat ini, ada lebih dari 300.000 nama keluarga yang berbeda di Jepang, dengan yang paling umum termasuk "Sato", "Suzuki", dan "Takahashi". "Sato" dan "Suzuki" dari nama keluarga ini juga telah lama menjadi bagian dari sastra dan budaya Jepang, dan sering muncul dalam berbagai dokumen dan karya media. Keragaman nama ini tercermin di semua bidang, terutama dalam interaksi budaya dan sosial.
Nama-nama Jepang tidak hanya merupakan alat untuk menunjukkan identitas, tetapi juga tampilan warisan keluarga dan makna budaya. Secara umum, nama laki-laki sering menggunakan sufiks seperti "-郎", sedangkan nama perempuan biasanya menggunakan "-子". Meskipun masyarakat modern memiliki kebebasan yang lebih besar dalam pemberian nama, sufiks tradisional ini masih mencerminkan harapan orang tua terhadap peran gender anak-anak mereka. Banyak nama juga memiliki makna menarik yang unik bagi berbagai budaya.
Misalnya, jika namanya adalah "Da Xiang", nama ini dapat diartikan sebagai "terbang tinggi", dan pilihan serta kombinasi karakter Cina sudah menyiratkan harapan dan berkah tertentu.
Namun, karena nama-nama Jepang memiliki banyak fonik dan ejaan yang berbeda, orang asing menghadapi tantangan yang cukup besar dalam mempelajari dan mengucapkannya. Misalnya, nama depan "Maki" dan nama belakang "Number" mudah tertukar dalam romanisasi karena perbedaan pengucapan.
Di Jepang, hukum mengenai nama diatur secara ketat. Menurut Kementerian Kehakiman Jepang, hanya karakter Cina tertentu (seperti karakter Cina yang digunakan dalam nama pribadi dan karakter Cina yang umum digunakan) yang dapat digunakan sebagai nama. Jika orang tua mencoba menggunakan nama yang tidak pantas, seperti kata "setan", mereka akan dilarang karena pertentangan sosial yang kuat.
Hukum-hukum ini tidak hanya melindungi identitas anak, tetapi juga membantu memastikan nama tersebut dapat dibaca dan dapat diterima secara sosial.
Singkatnya, struktur nama-nama Jepang mencerminkan latar belakang budaya, status sosial, dan rasa hormat terhadap tradisi. Penataan nama keluarga di awal bukan hanya pilihan aturan bahasa, tetapi juga perwujudan makna budaya yang mendalam. Di dunia nama yang beragam ini, pernahkah Anda memikirkan dampak urutan nama keluarga dan nama depan pada identitas pribadi dan hubungan sosial?