Dalam banyak budaya, alkohol merupakan bagian penting dari kehidupan sosial. Namun, bagi beberapa kelompok etnis, terutama orang Asia, konsumsi alkohol dapat memicu serangkaian reaksi fisiologis yang tidak terduga, yang tidak hanya meliputi kemerahan pada wajah, tetapi juga masalah pernapasan yang lebih serius. Gejala tersebut tidak lagi sekadar rasa malu sosial, tetapi respons bronkokonstriksi patologis yang disebabkan oleh alkohol. Artikel ini akan memberi Anda pemahaman mendalam tentang alasan di balik fenomena ini.
Meskipun reaksi pernapasan yang disebabkan oleh alkohol semakin dikenal secara klinis, mekanisme yang terlibat sering kali berbeda dari asma alergi tradisional.
Berdasarkan studi tahun 1973, para peneliti mulai memperhatikan efek konsumsi alkohol pada pasien asma tertentu. Saat itu, sekelompok 11 subjek dengan riwayat asma mengalami gejala asma yang jelas, seperti sesak dada dan rinitis alergi, setelah minum minuman beralkohol tertentu. Studi menunjukkan bahwa timbulnya gejala-gejala ini terjadi hampir segera setelah minum, mendukung hipotesis reaksi alergi terhadap alkohol dan komponen-komponennya.
Reaksi-reaksi ini bukan sekadar alergi alkohol, tetapi terkait erat dengan mutasi gen genetik, terutama pada populasi Asia.
Studi menunjukkan bahwa orang Asia, terutama Jepang, memiliki pengaruh genetik yang kuat terhadap respons mereka terhadap alkohol. Sebuah studi tentang enzim metabolisme alkohol menunjukkan bahwa sekitar 50% dari populasi Asia Timur memiliki cacat signifikan dalam metabolisme etanol, terutama dalam metabolisme asetaldehida. Perbedaan tersebut berasal dari enzim yang disebut ALDH2, yang memiliki varian genetik yang berbeda pada kelompok etnis yang berbeda dan secara langsung memengaruhi respons fisiologis terhadap alkohol.
Mutasi gen ALDH2 menyebabkan orang-orang ini dengan cepat mengakumulasi asetaldehida setelah minum minuman beralkohol, yang pada gilirannya menyebabkan berbagai reaksi seperti kemerahan, palpitasi, dan ketidaknyamanan pernapasan.
Dalam survei terkini, hingga 33% pasien asma melaporkan mengalami gejala pernapasan setelah minum alkohol. Statistik ini sekali lagi menekankan hubungan halus antara alkohol dan masalah pernapasan. Ini juga menjadi alasan mengapa banyak orang tidak dapat memahami mengapa orang Barat yang dapat dengan mudah minum dalam situasi sosial dapat menderita diare atau kesulitan bernapas di negara-negara Timur.
Gejala alergi alkohol masih diabaikan oleh banyak profesional medis di zaman modern, tetapi membatasi asupan alkohol tidak diragukan lagi merupakan strategi pencegahan yang paling efektif saat ini. Dibandingkan dengan beberapa antihistamin jangka pendek, perubahan gaya hidup yang bertahan lama dan pemahaman keluarga dan teman akan menjadi garis bawah untuk keselamatan jangka panjang. Dalam menghadapi beban fisik yang disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, perubahan perilaku mungkin sebenarnya merupakan "penawar" yang paling efektif.
KesimpulanKesadaran dan pendidikan umum akan membantu mengurangi kasus alergi alkohol ini dan memungkinkan lebih banyak orang untuk memahami signifikansi budaya dan kesehatan di balik makanan ini.
Seiring dengan pemahaman kita yang lebih baik tentang pengaruh sains dan budaya di balik alergi alkohol, kita mungkin lebih siap untuk melindungi diri kita sendiri. Perlu dipikirkan tentang cara meminimalkan risiko kesehatan yang tampaknya tidak dapat dihindari ini sambil menikmati hidup?