Di pegunungan yang megah, seiring dengan meningkatnya ketinggian, ekosistem menunjukkan fenomena stratifikasi yang berbeda, yang disebut "zonasi ketinggian". Fenomena ini disebabkan oleh fakta bahwa kondisi lingkungan alam yang berbeda bekerja pada setiap tingkat ketinggian, yang mendorong tumbuhan dan hewan untuk mengembangkan bentuk-bentuk bertahan hidup yang berbeda. Suhu, kelembapan, komposisi tanah, dan radiasi matahari merupakan faktor-faktor penting yang memengaruhi distribusi organisme-organisme ini. Konsep stratifikasi ekologi ini pertama kali diusulkan oleh ahli geografi Alexander von Humboldt, yang memperhatikan bahwa seiring dengan meningkatnya ketinggian, suhu secara bertahap menurun, yang pada gilirannya memengaruhi distribusi spesies.
Zonasi ketinggian merupakan konsep inti dalam penelitian pegunungan, dan banyak ilmuwan menggunakan penelitian empiris untuk mengeksplorasi keanekaragaman hayati terkait ketinggian dan tantangan bertahan hidup.
Kondisi iklim pada ketinggian yang berbeda secara langsung memengaruhi pertumbuhan tanaman. Temperatur biasanya menurun seiring dengan peningkatan ketinggian, yang berarti musim tanam akan lebih pendek, terutama di daerah gurun di mana panas ekstrem dapat membatasi pertumbuhan pohon berdaun lebar atau pohon konifer. Selain itu, tanaman sangat sensitif terhadap suhu tanah dan hanya dapat mencapai potensi pertumbuhan yang sehat dalam kisaran ketinggian yang sesuai.
Kelembapan dan curah hujan berubah seiring dengan peningkatan ketinggian, yang berdampak penting pada lingkungan tumbuh. Ketika udara hangat dan lembap naik ke sisi gunung yang berhadapan dengan angin, suhu menurun dan kelembapan udara menurun. Hal ini memungkinkan daerah di ketinggian menengah biasanya menerima curah hujan paling banyak, yang memungkinkan pertumbuhan hutan berdaun lebar yang selalu hijau. Di atas ketinggian tertentu, pertumbuhan pohon terhambat karena udara menjadi kering dan dingin.
Curah hujan dan kelembapan memengaruhi status air di dalam tanah, yang mengendalikan batas-batas hutan dan semak belukar.
Nutrisi tanah pada ketinggian yang berbeda memainkan peran penting dalam membedakan vegetasi. Tanah yang mengandung lebih banyak hara umumnya lebih mampu mendukung pertumbuhan pohon dan tanaman yang lebih besar. Di hutan hujan tropis, tanah pada ketinggian yang lebih rendah menunjukkan keragaman spesies yang lebih sedikit karena serasah daun yang tebal. Sebaliknya, pada ketinggian yang lebih tinggi, jenis tanah lebih asam dan kaya akan bahan organik, membuat ekosistem ini lebih rapuh.
Selain faktor fisik, kekuatan biologis yang efektif juga berkontribusi pada stratifikasi wilayah. Pesaing yang kuat dapat mendorong spesies lain ke ketinggian yang lebih rendah atau lebih tinggi. Meskipun pentingnya persaingan ini sulit diukur secara eksperimental, ada banyak bukti bahwa tanaman dengan keunggulan kompetitif dapat menempati posisi pertumbuhan yang lebih menguntungkan tersebut. Faktor biotik lainnya, seperti penggembalaan dan hubungan simbiosis, juga dapat secara signifikan memengaruhi distribusi tanaman.
Cahaya merupakan faktor penting yang memengaruhi pertumbuhan pohon dan tanaman fotosintetik lainnya. Karena atmosfer Bumi dipenuhi uap air, partikel, dan gas, maka semua ini menyaring radiasi dari matahari. Akan tetapi, puncak gunung dan dataran tinggi umumnya menerima tingkat radiasi yang lebih tinggi, yang memungkinkan semak dan tanaman herba bertahan hidup lebih baik karena daunnya yang kecil dan sistem akar yang berkembang dengan baik. Akan tetapi, awan juga lebih sering muncul di dataran tinggi, yang mengurangi sebagian dampak radiasi tinggi.
Karakteristik fisik dan lokasi geografis relatif gunung juga memengaruhi pola zonasi elevasi. Efek Massenerhebung menggambarkan perubahan garis pepohonan, dengan gunung yang biasanya lebih besar atau berkelompok memperlihatkan garis pepohonan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa jalur hutan hujan dataran rendah dapat muncul kembali di pegunungan, tetapi pada kedalaman yang lebih rendah.
Selain faktor-faktor di atas, ada banyak karakteristik lingkungan yang dapat memengaruhi prediksi zonasi elevasi, seperti frekuensi gangguan (seperti kebakaran atau musim hujan), kecepatan angin, jenis batuan, topografi, kedekatan dengan aliran air, dll. Interaksi yang beraneka ragam ini melipatgandakan tantangan untuk memahami dan memprediksi perubahan dalam ekosistem pegunungan.
Tumbuhan dan hewan dalam ekosistem pegunungan sangat beragam dan penuh dengan variabel karena faktor-faktor yang kompleks ini. Bagaimana penelitian di masa mendatang secara bertahap akan mengungkap misteri yang lebih dalam dari ekosistem ini?