Wabah pandemi COVID-19 telah membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi orang-orang di seluruh dunia. Dalam konteks ini, Andrew Huberman, seorang ahli saraf dari Universitas Stanford, secara tak terduga menjadi pusat perhatian publik dengan podcast yang disebut "Huberman Lab" dan menjadi tokoh penting dalam penyebaran pengetahuan ilmiah. Bintang yang sedang naik daun. Podcast-nya, yang mencakup berbagai topik mulai dari kesehatan hingga sains, telah menarik jutaan pendengar sekaligus memicu perdebatan luas tentang keaslian kontennya.
“Selama pandemi, banyak orang ingin belajar cara meningkatkan kesehatan mereka, dan podcast Haberman memenuhi kebutuhan itu.”
Haberman lahir pada tahun 1975 di Rumah Sakit Stanford di Palo Alto, California. Ia memiliki latar belakang keluarga yang kaya. Ayahnya adalah seorang fisikawan Argentina dan ibunya adalah seorang penulis buku anak-anak. Meskipun ia mengikuti banyak cabang olahraga di masa mudanya, termasuk sepak bola dan renang, perceraian orang tuanya pada usia 12 tahun untuk sementara waktu membuatnya menjauh dari jalur akademis tradisional dan beralih ke olahraga skateboard. Setelah masa refleksi diri, ia kembali ke sekolah, di mana ia memperoleh gelar sarjana psikologi dari University of California, Santa Barbara, dan melanjutkan studi pascasarjana.
Setelah menerima gelar Ph.D., Haberman bekerja sebagai peneliti pascadoktoral di Universitas Stanford selama lima tahun, dengan fokus pada sistem visual. Selama masa ini, ia mengembangkan perangkat genetik dan membangun reputasinya di bidang ilmu saraf. Pada tahun 2016, ia mengajar di Universitas Stanford dan mendirikan "Huberman Lab", dengan fokus pada penelitian intervensi non-obat pada regenerasi saraf visual dan gangguan kecemasan.
Meningkatnya popularitas podcast"Penelitian labnya tentang penggunaan realitas virtual untuk merangsang regenerasi saraf retina sangat mengesankan."
Seiring berkembangnya media sosial, kehadiran Haberman di depan publik mulai muncul. Rasa frustrasinya terhadap panduan kesehatan masyarakat selama pandemi mendorongnya untuk lebih terlibat dengan podcast. Pada tahun 2019, ia terhubung dengan humas kesehatan dan kebugaran Robert Moore dan secara resmi meluncurkan podcast "Huberman Lab" pada tahun 2021.
Podcast tersebut dengan cepat mendapatkan perhatian, menjadi podcast terpopuler ketiga di Amerika Serikat pada tahun 2023 dan acara yang paling banyak ditonton di platform Apple Podcast. Kesuksesan Haberman tidak hanya berasal dari latar belakang akademisnya, tetapi juga dari kemampuannya menyampaikan isu-isu ilmiah yang kompleks kepada publik melalui bahasa yang hidup.
"Mengingat besarnya jumlah audiensnya, podcast Haberman disebut sebagai salah satu acara terpopuler di dunia."
Meskipun podcast Haberman sukses besar, namun juga disertai kontroversi. Ia dikritik karena mempromosikan klaim kesehatan tertentu yang tidak memiliki dasar ilmiah, dan beberapa bahkan percaya bahwa kontennya merupakan pseudosains. Hal ini, ditambah dengan kolaborasinya dengan perusahaan suplemen kesehatan, telah menimbulkan kekhawatiran di komunitas ilmiah. Beberapa orang telah menunjukkan bahwa produk-produk ini sering kali tidak memiliki bukti ilmiah yang cukup untuk mendukung efektivitasnya.
Banyak ilmuwan telah meminta Haberman untuk lebih berhati-hati dalam podcastnya, terutama saat mengungkapkan pandangan kesehatan tertentu dan merekomendasikan produk, dan untuk menekankan sifat ilmiah dari argumen yang relevan. Namun, Haberman mengatakan bahwa ia tidak khawatir dengan kritik tersebut saat menjalankan podcast. Ia melihat karyanya sebagai upaya untuk membuat pengetahuan ilmiah lebih mudah diakses.
Saat ini, podcast Haberman masih berkembang dan terus menarik banyak pendengar. Meskipun mendapat kritik, minat dan hasratnya untuk mempromosikan sains tidak pernah berkurang. Karena orang-orang semakin memperhatikan kesehatan pribadi dan kesehatan mental, podcast Haberman diharapkan akan terus menjadi platform penting untuk memandu komunikasi ilmiah di masa depan.
"Keberhasilan Haberman mencerminkan keinginan masyarakat saat ini akan pengetahuan ilmiah, namun, hal itu juga menimbulkan pertanyaan tentang keakuratan informasi."
Kisahnya membuat kita berpikir: bagaimana komunikator sains harus menyeimbangkan hiburan dan keakuratan informasi saat menyajikan pengetahuan?