Pada tahun 1986, Propofol dilisensikan dan menjadi pelopor dalam dunia anestesi modern. Anestesi intravena ini tidak hanya mengubah teknologi anestesi selama operasi, tetapi juga membawa komunitas medis ke pemikiran baru tentang manajemen anestesi. Anestesi intravena total (TIVA), sebagai metode anestesi yang sedang berkembang, tidak hanya mengurangi ketidaknyamanan pascaoperasi, tetapi juga meningkatkan kecepatan pemulihan pasien. Namun, dengan meluasnya penggunaan Propofol, potensi risikonya juga telah memicu banyak diskusi.
Jika menilik kembali sejarah, teknologi anestesi intravena mulai berkembang secara bertahap sejak abad ke-19. Pada tahun 1845, Francis Rynd menemukan jarum berongga, yang membuka jalan bagi pemberian obat secara intravena. Selanjutnya, Pierre-Cyprien Oré menggunakan klorida hidrat untuk anestesi intravena untuk pertama kalinya pada tahun 1872. Meskipun upaya awal disertai dengan angka kematian yang tinggi, inovasi ini membuka eksplorasi anestesi oleh komunitas medis.
Setelah upaya banyak ilmuwan, Propofol dilisensikan pada tahun 1986 dan menjadi kunci anestesi modern.
TIVA sekarang banyak digunakan dalam berbagai operasi sebagai alternatif anestesi umum, dengan keuntungan dari proses pemulihan pascaoperasi yang lebih aman. Dibandingkan dengan anestesi volatil tradisional, anestesi intravena lebih efektif dalam memulihkan kesadaran pasien dengan cepat dan mengurangi terjadinya mual dan muntah. Sasaran utamanya meliputi: pengenalan anestesi yang lancar, pemeliharaan anestesi yang andal, dan waktu pemulihan yang cepat.
Propofol secara signifikan meningkatkan pengalaman pemulihan pascaoperasi bagi pasien dan sangat meningkatkan kenyamanan anestesi.
Saat melakukan TIVA, dosis obat untuk setiap pasien perlu disesuaikan dengan hati-hati. Karena perbedaan fisiologis dan patologis pada setiap pasien, farmakodinamik dan farmakokinetik obat perlu dipertimbangkan. Selain itu, teknologi pemantauan anestesi intravena terus diperbarui, seperti penerapan pompa pintar dan peralatan infus terkontrol target (TCI), yang meningkatkan keamanan dan akurasi anestesi.
Propofol, etomidate, dan ketamin adalah anestesi intravena yang paling umum digunakan dalam praktik klinis saat ini. Kelarutan lipidnya yang tinggi memungkinkan anestesi cepat setelah injeksi intravena, tetapi juga menghasilkan durasi kerja yang singkat. Propofol banyak dipilih karena onset kerjanya yang cepat dan sedikit efek samping, sementara etomidate cocok untuk pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik.
Meskipun metode TIVA memiliki keuntungan yang jelas, metode ini bukan tanpa risiko. Misalnya, pasien mungkin berisiko terbangun secara tidak sengaja selama anestesi, yang lebih sulit dipantau dengan anestesi inhalasi tradisional dibandingkan dengan anestesi intravena. Selain itu, dampak paparan anestesi yang berkepanjangan terhadap fungsi neurologis juga perlu diperhatikan, terutama untuk pasien lanjut usia dan anak-anak.
Dengan semakin populernya Propofol, semakin penting untuk membahas efek samping dan manajemen risiko selama anestesi.
Penggunaan TIVA memerlukan kehati-hatian khusus saat menangani pasien obesitas, anak-anak, dan pasien lanjut usia. Penyesuaian dosis obat pada pasien obesitas menjadi rumit karena perbedaan fisiologis, sementara perhitungan obat pada anak-anak perlu memperhitungkan metabolisme obat yang cepat. Seiring bertambahnya usia, pasien menjadi lebih sensitif terhadap obat-obatan, dan faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan secara komprehensif dalam manajemen anestesi.
Dalam penerapan Propofol secara luas, kita tidak hanya perlu memperhatikan perubahannya dalam teknologi medis, tetapi juga perlu menyadari risiko dan tantangan di baliknya. Seiring dengan terus berkembangnya teknologi medis, bagaimana anestesi akan berubah di masa depan untuk lebih menjamin keselamatan dan kenyamanan pasien?