Kemarahan dan perilaku agresif ada di mana-mana dalam kehidupan kita sehari-hari. Baik dalam situasi sosial, di tempat kerja, atau di ruang virtual, emosi ini sering memengaruhi perilaku kita dengan cara yang tidak terduga. Namun, mengapa ada kemarahan yang begitu intens? Apa alasan di baliknya?
Perilaku agresif tidak hanya muncul karena marah, tetapi juga dapat muncul dari berbagai pengaruh lingkungan emosional dan sosial.
Pertama, perilaku agresif dapat dilihat sebagai reaksi, yang biasanya diakibatkan oleh frustrasi atau ketidakmampuan mencapai tujuan tertentu. Misalnya, rasa tidak hormat atau provokasi yang dirasakan merupakan pemicu kemarahan yang umum. Psikolog sosial Dollard dkk. (1939) mengajukan "hipotesis frustrasi-agresi". Mereka percaya bahwa perilaku agresif adalah reaksi emosional yang disebabkan oleh frustrasi.
Setiap kali kita menetapkan tujuan dan menghadapi rintangan, perasaan kehilangan ini sering berubah menjadi kemarahan, yang pada gilirannya memicu perilaku agresif.
Selain itu, menurut penelitian Berkowitz, ia percaya bahwa frustrasi semacam ini bukanlah frustrasi itu sendiri, melainkan emosi negatif yang menyertai frustrasi tersebut. Dalam kasus ini, setiap kejadian yang tidak menyenangkan memicu kecenderungan agresif, sehingga kita mungkin menunjukkan kegelisahan yang signifikan atas hal-hal kecil.
Perlu dicatat bahwa agresi bukan hanya kekerasan langsung, tetapi juga dapat terwujud secara tidak langsung. Misalnya, manipulasi sosial dan intimidasi terselubung juga termasuk dalam kategori ini, dan perilaku ini juga dapat menyebabkan kerugian bagi individu atau komunitas.
Agresi dalam perilaku adaptif tidak terbatas pada menyakiti orang lain, tetapi juga dapat menjadi sarana untuk melindungi kepentingan diri sendiri.
Dalam penelitian mereka tentang perilaku agresif, mereka memperluas klasifikasi agresi kontrol-instrumental dan agresi reaktif-impulsif. Klasifikasi ini membantu kita memahami pola perilaku agresif dalam konteks yang berbeda. Agresi instrumental-pengendalian biasanya bertujuan, sedangkan agresi reaktif-impulsif sering kali tiba-tiba dan tidak terkendali. Hal ini menyebabkan perilaku agresif terwujud secara berbeda dalam situasi yang berbeda.
Dari perspektif biologis, beberapa penelitian percaya bahwa perilaku agresif merupakan bagian dari evolusi dan didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Selain itu, gender memainkan peran penting dalam ekspresi perilaku agresif. Penelitian telah menemukan bahwa pria lebih cenderung menunjukkan agresi langsung, sementara wanita mungkin lebih cenderung menggunakan bentuk agresi sosial tidak langsung. Akar dari perbedaan ini dapat ditelusuri ke latar belakang evolusi manusia dan pembentukan peran sosial.
Dalam beberapa kasus, perilaku agresif dapat dilihat sebagai sarana untuk mendapatkan sumber daya, status, atau peluang reproduksi.
Jika dilihat lebih jauh, intensitas dan kinerja perilaku agresif manusia dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan psikologis. Latar belakang keluarga, lingkungan sosial, dan pengalaman kita semuanya memengaruhi pola respons kita. Di bawah pengaruh stres atau provokasi sosial, kita mungkin merasakan dorongan untuk melawan, yang sering kali dipicu oleh kebutuhan dasar kita akan martabat dan hak.
Namun, konsekuensi dari perilaku agresif mungkin tidak hanya menyebabkan kerugian besar bagi orang lain, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental pelakunya sendiri. Perilaku agresif jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi seperti keterasingan sosial dan penyakit mental, yang harus kita pikirkan secara mendalam saat mengekspresikan kemarahan.
Terakhir, meskipun pertahanan dan serangan balik merupakan reaksi naluriah, belajar mengelola emosi ini dengan benar merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh orang-orang modern. Pernahkah kita berpikir tentang apakah kita dapat memilih cara yang lebih damai untuk mengekspresikan emosi dan kebutuhan kita sebelum kita bereaksi?