Dalam industri manufaktur baja saat ini, kemunculan tungku busur listrik tidak diragukan lagi merupakan simbol penting dari inovasi teknologi. Sebagai alat peleburan yang efisien, tungku busur listrik dapat menggunakan busur listrik sebagai sumber pemanas untuk membuat bahan baku mencapai suhu tinggi hingga 3000°C dalam waktu singkat. Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi produksi tetapi juga mengurangi dampak terhadap lingkungan. Artikel ini akan membahas cara kerja tungku busur listrik, latar belakang sejarahnya, dan pentingnya tungku busur listrik dalam produksi baja modern.
Inti dari tungku busur listrik adalah pembangkitan busur. Busur adalah pelepasan busur suhu tinggi yang dibentuk oleh arus kuat yang mengalir di antara elektroda dan bahan baku. Dalam proses ini, arus listrik mengalir melalui besi tua yang diisi di tungku, secara langsung memanaskan dan melelehkan material. Metode pemanasan langsung ini sangat meningkatkan efisiensi energi.
Suhu busur listrik mencapai 3000°C, yang memungkinkan bahan logam meleleh dalam waktu singkat.
Konsep tungku busur listrik pertama kali diusulkan pada abad ke-19, tetapi baru pada tahun 1888 James Burgess Redman dari Edinburgh berhasil merancang dan mematenkannya, yang memulai proses industrialisasi tungku busur listrik. Seiring berjalannya waktu, teknologi tungku busur listrik semakin matang dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk memfasilitasi produksi baja paduan.
Tungku busur listrik umumnya terdiri dari bejana berlapis tahan api dan dapat dirancang dengan sistem berpendingin air. Tungku ini terdiri dari tiga bagian utama: cangkang tungku, perapian, dan bagian atas tungku yang dapat ditarik. Seiring berkembangnya teknologi, tungku busur listrik modern semakin dirancang untuk mendukung pengoperasian yang cepat dan efisiensi yang tinggi.
Tungku busur listrik memiliki konsumsi energi yang relatif rendah saat memproduksi baja, terutama saat menggunakan baja daur ulang sebagai bahan baku. Kebutuhan energi per ton baja hanya 400 kilowatt jam. Dibandingkan dengan peleburan tanur sembur tradisional, tungku busur listrik telah menunjukkan keunggulan yang jelas dalam mengurangi emisi karbon dioksida.
Tungku busur listrik hanya dapat menghasilkan 0,6 ton emisi karbon dioksida per ton baja, yang jauh lebih rendah daripada 2,9 ton metode produksi baja tradisional.
Proses pengoperasian tungku busur listrik melibatkan beberapa langkah, termasuk pemuatan bahan baku, proses peleburan, dan pengambilan sampel akhir serta pembuatan alur baja cair. Perhatian khusus terhadap keselamatan diperlukan selama pengoperasian untuk mencegah cedera yang tidak disengaja akibat suhu tinggi atau cipratan. Pada tanur busur listrik berukuran sedang, biasanya dibutuhkan waktu 60 hingga 70 menit dari pemuatan bahan baku hingga peleburan di tanur, yang ditandai dengan efisiensi tinggi.
Dengan meningkatnya kesadaran akan perlindungan lingkungan, tanur busur listrik telah menjadi pilihan yang semakin populer di industri baja karena kemampuannya menggunakan 100% logam daur ulang. Fleksibilitas tanur busur listrik memungkinkannya untuk menyesuaikan produksi dengan cepat sesuai permintaan pasar tanpa harus beroperasi dalam waktu lama seperti tanur sembur tradisional.
Meskipun tanur busur listrik membawa banyak keuntungan bagi produksi, masih ada potensi masalah lingkungan dalam pengoperasiannya, terutama dalam pengendalian debu dan kebisingan. Semakin banyak pabrik tanur busur listrik yang mengambil tindakan yang lebih efektif untuk mengurangi dampak negatif ini, termasuk memperkuat konstruksi penyegelan pabrik dan sistem pengumpulan debu.
Dalam pengembangan tungku busur listrik, dalam menghadapi permintaan pasar yang terus meningkat, inovasi teknologi yang berkelanjutan merupakan kunci kemajuan di masa depan. Dapatkah tungku busur listrik terus memimpin masa depan industri baja menuju perlindungan lingkungan dan efisiensi tinggi?