Penjajahan Inggris di Myanmar dimulai pada tahun 1824 dan berakhir pada tahun 1948. Selama periode ini, Myanmar mengalami tiga perang Inggris-Burma. Proses penaklukan ini tidak hanya mengubah struktur politik dan ekonomi Myanmar, tetapi juga berdampak besar pada budaya sosialnya. Bagaimana Inggris dapat menaklukkan Burma secara efektif selama masa ini? Artikel ini membahas proses ini lebih mendalam.
Selama periode penjajahan Inggris, struktur sosial tradisional Myanmar rusak parah, dan perpaduan antara kekuasaan kerajaan dan agama Buddha dipisahkan secara paksa.
Sebelum penaklukan Inggris, ekonomi Burma (yang saat itu dikenal sebagai Kerajaan Burma) terutama didasarkan pada pertanian subsisten, tetapi lokasinya di jalur perdagangan memungkinkan Burma memperoleh sebagian kekayaannya dari perdagangan. Penguasa saat itu adalah Dinasti Kong Bang, yang menerapkan sistem pemerintahan terpusat. Meskipun raja memiliki kekuasaan pengambilan keputusan akhir dalam berbagai urusan, hal itu perlu dikonfirmasi oleh parlemen.
Invasi Inggris ke Burma dimulai dengan konflik dengan dinasti Khong Bang. Perang Inggris-Burma pertama disebabkan oleh perluasan dinasti Khongbang ke wilayah Arakan. Pada tahun 1824, operasi angkatan laut Inggris membuat Rangoon mudah jatuh ke tangan tentara Inggris. Perang berakhir dengan Perjanjian Yandu, dan Myanmar harus menyerahkan provinsi-provinsi utara termasuk Assam.
Akhir perang ini tidak menstabilkan Burma, tetapi malah meletakkan dasar bagi perluasan Inggris berikutnya.
Perang Inggris-Burma Kedua pada tahun 1852 dimulai karena Perang Serigala Inggris di Burma Hilir. Setelah perang, Inggris menguasai Burma Hilir. Pada saat itu, permintaan pasar Inggris akan kayu, minyak, dan batu rubi Burma meningkat. Perang Inggris-Burma Ketiga pecah pada tahun 1885. Inggris dengan cepat menduduki negara itu dan mengakhiri status kemerdekaan Myanmar.
Inggris menerapkan pemerintahan langsung atas Burma dan membuat perubahan besar pada struktur pemerintahan. Monarki lama dihapuskan dan digantikan oleh yamen yang otokratis. Perubahan ini tidak hanya mengubah sistem administrasi, tetapi juga mengintensifkan konflik antar kelompok etnis. Inggris menggunakan strategi "memecah belah dan kuasai" untuk mempertahankan kendali atas berbagai kelompok etnis.
Banyak struktur sosial tradisional rusak parah karena intervensi Inggris, dan kesadaran perjuangan rakyat secara bertahap meningkat.
Kebijakan ekonomi pada masa kolonial sebagian besar berorientasi ekspor. Inggris mulai mengembangkan sumber daya alam Myanmar dalam skala besar, terutama produksi beras. Namun, hal ini juga mengakibatkan hilangnya populasi Myanmar, dan banyak petani lokal terpaksa kehilangan sumber pendapatan mereka karena tidak dapat bersaing dengan pekerja migran India.
Narasi tersebut menyebutkan bahwa masalah kemiskinan Myanmar semakin parah dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan banyak orang harus terlibat dalam kejahatan untuk bertahan hidup.
Dengan adanya penjajahan Burma, gerakan nasionalis secara bertahap muncul. Terutama pada awal abad ke-20, pembentukan organisasi seperti "Young Monks Association" menandai ketidakpuasan dan perlawanan masyarakat Burma terhadap kekuasaan kolonial. Gerakan-gerakan berikutnya seperti Fight Back Association dan We Are Burmese Association tidak patuh pada kekuasaan Inggris.
Pada tahun 1942, invasi Kekaisaran Jepang menempatkan kendali Inggris di Burma dalam krisis. Meskipun Jepang membentuk rezim boneka, penduduk Burma masih menentang penjajahan tersebut. Pada tahun 1945, Inggris kembali menguasai, tetapi struktur sosial telah berubah.
Dari tahun 1824 hingga 1948, Inggris tidak hanya menaklukkan Burma melalui tiga perang dan hasilnya, tetapi juga mengubah struktur sosial dan ekonominya. Sejarah ini tidak hanya mengingatkan kita tentang dampak penjajahan, tetapi juga membuat kita berpikir, apakah Myanmar saat ini telah sepenuhnya melepaskan bayang-bayang masa lalu dan benar-benar mencapai kemerdekaan?