Zonasi merupakan alat dasar dalam perencanaan kota. Dengan membagi lahan menjadi beberapa "zona", pemerintah dapat mengelola penggunaan dan pengembangan lahan secara cermat. Pembagian area ini tidak hanya memengaruhi tampilan kota, tetapi juga secara diam-diam memandu arah pengembangannya. Seiring dengan perluasan dan perubahan kota, undang-undang zonasi telah menjadi mekanisme penting untuk membentuk tampilan dan fungsi kota.
Undang-undang zonasi bukanlah pembatasan sederhana, tetapi dimaksudkan untuk membuat penggunaan lahan lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Sejarah undang-undang zonasi berawal dari zaman kuno, ketika kota-kota mulai bereksperimen dengan membagi lahan menurut fungsinya. Misalnya, selama Dinasti Zhou di Tiongkok kuno, dasar-dasar distrik sudah ada, dengan area yang direncanakan untuk berbagai tujuan. Pada Abad Pertengahan, pembangunan kota juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dengan industri yang tidak populer seperti pemotongan hewan dan pembuangan limbah yang sering kali berlokasi di luar tembok kota, sebuah fakta yang masih tercermin dalam perencanaan kota modern.
Seiring berjalannya waktu, terutama setelah Zaman Pencerahan dan Revolusi Industri, perubahan sosial ekonomi telah mempercepat evolusi perencanaan kota. Secara tradisional, kawasan perumahan, komersial, dan industri relatif terpisah. Perencanaan ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan lingkungan, tetapi juga untuk menyeimbangkan berbagai kebutuhan sosial. Berdasarkan permintaan ini, metode zonasi secara bertahap telah berkembang menjadi berbagai bentuk, termasuk zonasi berbasis penggunaan, zonasi berbasis bentuk, dll.
Zonasi penggunaan berfokus pada bagaimana lahan dibagi, sementara zonasi bentuk melihat bentuk dan kepadatan bangunan.
Di kota-kota modern, zonasi berbasis penggunaan adalah salah satu jenis yang paling umum. Pendekatan ini tidak hanya memisahkan fungsi penggunaan yang berbeda, tetapi juga melindungi karakteristik masyarakat. Misalnya, area tertentu secara khusus direncanakan untuk penggunaan perumahan, melarang pembangunan pabrik untuk menjaga kualitas hidup penduduk. Namun, pembagian ini sering dikritik karena membuat kota menjadi sempit dan membosankan karena membatasi keragaman aktivitas di dalam lingkungan sekitar.
Sebaliknya, tren perencanaan kota dalam beberapa tahun terakhir secara bertahap bergerak menuju zonasi penggunaan campuran, yang mendorong koeksistensi penduduk, bisnis, dan fasilitas umum. Hal ini mendorong interaksi dan vitalitas masyarakat serta meningkatkan keberlanjutan kota. Para ahli perencanaan kota menunjukkan bahwa memungkinkan orang untuk tinggal, bekerja, dan bermain di area yang lebih kecil niscaya akan meningkatkan daya tarik kota.
Pusat kota berkembang pesat karena interaksi aktivitas, dan di sinilah zonasi penggunaan campuran menjadi kuat.
Di sisi lain, zonasi formal mulai mendapat perhatian, yang tidak hanya berfokus pada jenis penggunaan lahan, tetapi jugademikian pula pada bentuk, ukuran, dan hubungan bangunan. Ini berarti bahwa terlepas dari jenis bangunan, baik itu komersial, hunian, atau fasilitas publik, bangunan tersebut harus memenuhi spesifikasi desain tertentu untuk memastikan keselarasan dan keindahan masyarakat secara keseluruhan. Di beberapa kota, jenis perencanaan ini digunakan untuk mencegah gedung pencakar langit merusak cakrawala kawasan bersejarah.
Di Amerika Serikat, peraturan zonasi Los Angeles pertama kali diusulkan pada tahun 1904, diikuti oleh undang-undang zonasi New York yang lebih komprehensif pada tahun 1916. Keputusan bersejarah ini memengaruhi seluruh arah perencanaan kota. Saat ini, berbagai model zonasi baru telah muncul, seperti zonasi kinerja dan zonasi insentif. Metode zonasi baru ini berupaya memberikan fleksibilitas dan peluang inovasi yang lebih besar untuk beradaptasi dengan lingkungan perkotaan yang berubah dengan cepat. lingkungan.
Namun, berbagai pendekatan pembagian masih menghadapi tantangan dalam praktiknya. Misalnya, meskipun zonasi berbasis insentif memungkinkan pengembang memperoleh hak pembangunan yang lebih besar untuk kepentingan publik tertentu, bagaimana menyeimbangkan kepentingan pengembang dengan kebutuhan masyarakat tetap menjadi masalah yang sulit. Meskipun memperkenalkan lebih banyak fasilitas umum dan ruang terbuka hijau ke dalam masyarakat merupakan cita-cita setiap kota, hal itu sering kali terhalang oleh kebutuhan keuntungan pengembang.
Arah perencanaan kota di masa depan harus lebih memperhatikan kebutuhan sosial, sehingga membentuk lingkungan hidup yang lebih kohesif.
Seiring kota terus menghadapi tantangan pertumbuhan penduduk, perubahan lingkungan, dan harapan sosial, penggunaan undang-undang zonasi yang efektif menjadi sangat penting. Baik melalui kebijakan zonasi yang lebih fleksibel atau menggabungkan teknologi terkini untuk mengoptimalkan perencanaan, kota perlu dirancang dengan mengutamakan kebutuhan masyarakat. Dalam mencari solusi inovatif, bagaimana kita dapat benar-benar mencapai pembangunan berkelanjutan dan koeksistensi kota yang harmonis?