Dalam banyak penelitian ilmiah dan bidang industri, rekayasa elektrokimia tidak diragukan lagi menunjukkan posisinya yang unik dan tak tergantikan. Cabang rekayasa ini berfokus pada aplikasi teknologi fenomena elektrokimia, seperti elektrosintesis bahan kimia, ekstraksi dan pemurnian logam selektif, pengembangan sel bahan bakar dan baterai aliran, serta modifikasi permukaan. Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC), rekayasa elektrokimia berfokus pada proses intensif daya untuk penyimpanan energi dan aplikasi industri, yang membedakannya dari eksperimen elektrokimia terapan skala kecil.
"Lebih dari 6% listrik di Amerika Serikat dikonsumsi oleh operasi elektrokimia besar."
Rekayasa elektrokimia tidak hanya mencakup studi tentang perpindahan muatan heterogen pada antarmuka elektroda/elektrolit tetapi juga pengembangan bahan dan proses praktis. Perspektif fundamentalnya meliputi bahan elektroda dan kinetika spesies redoks. Lebih jauh, pengembangan teknologi ini memerlukan studi tentang potensi dan profil terkini reaktor elektrokimia, kondisi transportasi massa, dan kuantifikasi kinerja keseluruhannya berkenaan dengan parameter seperti hasil reaksi, efisiensi konversi, dan efisiensi energi.
Dalam pengembangan industri, rekayasa elektrokimia memerlukan desain reaktor dan proses lebih lanjut, metode manufaktur, pengujian, dan pengembangan produk untuk mendapatkan produk yang diinginkan.
"Sebagian besar operasi elektrokimia dilakukan dalam reaktor filter press dengan elektroda pelat paralel atau dalam tangki pengaduk dengan elektroda silinder berputar."
Cabang rekayasa ini berawal dari pertengahan abad ke-19 dan berkembang seiring dengan semakin meluasnya penggunaan tenaga listrik. Michael Faraday pertama kali menggambarkan hukum elektrolisis pada tahun 1833, yang dengan jelas menyatakan hubungan konversi antara muatan listrik dan massa. Pada tahun 1886, Charles Martin Hall mengembangkan proses elektrokimia yang murah untuk mengekstrak aluminium dari bijihnya, yang menjadi industri elektrokimia berskala besar pertama yang sesungguhnya.
Hamilton Kastner kemudian menyempurnakan proses produksi aluminium, dan bersama Karl Kellner ia mendirikan Industri Kloro-Alkali pada tahun 1892, yang memproduksi klorin dan soda kaustik melalui elektrolisis. Tak lama kemudian, Paul L. Holling mengajukan paten untuk sel kimia piezoelektrik yang difilter di Prancis pada tahun berikutnya. Teknologi ini meletakkan dasar bagi pengembangan elektrokimia selanjutnya.
Saat ini, teknik elektrokimia banyak digunakan dalam elektrolisis air industri, elektrosintesis, pelapisan listrik, sel bahan bakar, baterai aliran, dan banyak bidang lainnya. Contoh paling menonjol dari proses elektrolitik adalah proses klorin-alkali, yang sepenuhnya menunjukkan potensi penerapan elektrokimia dalam produksi natrium hidroksida dan klorin.
"Saat ini, tugas utama rekayasa elektrokimia meliputi pengembangan teknologi produksi kimia yang efisien, aman, dan berkelanjutan."
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, cakupan rekayasa elektrokimia terus diperluas hingga mencakup banyak bidang seperti daur ulang logam, teknologi remediasi lingkungan, sel bahan bakar, dan desain baterai aliran. Penelitian lebih lanjut di bidang ini dapat memberikan solusi baru bagi semakin banyak industri untuk mengatasi tantangan keberlanjutan dan lingkungan.
Namun, kita tidak dapat tidak bertanya, seiring cara produksi bahan kimia terus berinovasi di masa mendatang, apakah rekayasa elektrokimia akan menjadi kekuatan utama dalam mempromosikan kimia hijau dan pembangunan berkelanjutan?