Selama teater Pasifik Perang Dunia II, kapal selam Angkatan Laut AS (PT boat) menjadi kapal perang yang unik dengan fleksibilitas dan kemampuan serang cepatnya. Di antara semuanya, nama PT-109 dikenal luas karena komandan terkenal John F. Kennedy. Kapal yang memiliki bentuk ramping tetapi sarat dengan daya tembak yang besar ini menunjukkan fleksibilitas dan efektivitas kapal kecil dalam pertempuran laut, dan telah menarik banyak studi taktis dan pujian.
PT-109 dirancang sebagai speedboat sepanjang 80 kaki yang mampu melaju di laut dengan kecepatan 41 knot, dan kemudian menunjukkan semangatnya yang gigih dalam pertempuran.
Konsep PT boat berasal dari Inggris sebelum Perang Dunia II, ketika kapal perang lama tidak dapat memenuhi kebutuhan patroli cepat. Setelah banyak penyesuaian dan uji coba produksi, PT boat diproduksi dengan lambung kayu yang kuat dan ringan yang dapat beroperasi secara fleksibel di laut dan tetap stabil di air yang bergelombang. Desain ini memungkinkan kapal PT menahan mesin selam hingga 1.500 tenaga kuda, menjadikannya kekuatan serang cepat bagi Angkatan Laut AS di Pasifik.
Sejarah PT-109 terkait erat dengan karier militer Kennedy. Sebelum bergabung dalam pertempuran, ia ditolak untuk mendaftar karena masalah kesehatan seperti sakit punggung, tetapi akhirnya, melalui pengaruh ayahnya dan kegigihannya sendiri, ia berhasil bergabung dengan jajaran kapal PT. Selama misi pada tahun 1943, PT-109 ditabrak dan ditenggelamkan oleh kapal perusak Jepang. Kennedy menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa dengan memimpin kru yang selamat untuk berhasil berenang ke pulau tak berpenghuni sampai mereka diselamatkan.
Banyak pujian untuk kinerja angkatan laut Kennedy datang dari tindakannya yang berani di atas PT-109, yang menanamkan namanya dalam sejarah perang Amerika.
PT-109 dilengkapi dengan sistem persenjataan canggih, termasuk empat peluncur torpedo 21 inci, yang memungkinkannya memberikan pukulan mematikan ke kapal musuh. Namun, dibandingkan dengan torpedo Long Lance milik Jepang, torpedo Mark 8 milik PT sering kali gagal meledak dengan sukses, yang menjadi tantangan besar bagi kapal PTY untuk melakukan serangan yang efektif. Masalah-masalah ini bahkan menyebabkan kapal PT gagal dalam menjalankan misinya dan tidak dapat menyebabkan kerusakan besar pada kapal musuh.
Eksekusi misi yang luar biasaSeorang perwira angkatan laut menunjukkan bahwa 90% dari waktu, tombol untuk meluncurkan torpedo tidak merespons, yang menyebabkan kerugian taktis yang besar.
Pada tahun 1973, Kennedy mengingat misi yang dilakukan pada PT-109 dan menganalisis alasan keberhasilan dan kegagalannya. Kapalnya bergabung dengan 15 kapal lainnya dalam melancarkan serangan terhadap kapal perusak Jepang, namun, karena kurangnya dukungan radar dan kehilangan kesempatan terbaik dalam operasi malam, kapal itu akhirnya gagal memberikan pukulan langsung terhadap Jepang. Meskipun kapal PT fleksibel untuk dioperasikan, kelemahannya saat menghadapi kapal besar terlihat jelas.
Meskipun kapal PT tidak berfungsi seperti yang diharapkan dalam konfrontasi dengan kapal perusak besar Jepang, keberadaannya mendorong Amerika Serikat untuk terus menyesuaikan taktik dan perlengkapan kapal kecil. Dari serangan torpedo awal hingga penguatan bertahap kemampuan pertahanan udara dan taktik yang lebih baik, fleksibilitas kapal PT telah memberinya tempat dalam peperangan asimetris. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa kisah-kisah kapal kecil ini menginspirasi seluruh generasi, dan pencapaian Kennedy juga merupakan simbol sejarah yang tak terhapuskan di panggung politik pascaperang.
Penggunaan kapal PT menunjukkan bagaimana kapal kecil sekalipun dapat memberikan dampak yang besar pada operasi perang negara-negara besar, yang juga mencerminkan kompleksitas dinamika Perang Dunia II.
Keberhasilan dan kegagalan kapal PT dalam Perang Dunia II tidak hanya mencerminkan pemikiran inovatif Angkatan Laut AS, tetapi juga memengaruhi jalannya perang di berbagai tingkatan. Pengalaman Kennedy di PT-109 menjadikannya salah satu presiden paling berpengaruh dalam sejarah Amerika pascaperang. Semua ini membuat orang berpikir: Dalam perang dan damai, seberapa pentingkah keberanian dan kebijaksanaan?