Kelabang berkepala merah Cina, yang secara ilmiah dikenal sebagai Scolopendra mutilans, kelabang dari Asia Timur ini memiliki tempat dalam budaya pengobatan Cina kuno karena khasiat penyembuhannya yang unik. Di masa lalu, banyak keluarga Cina menggunakan kelabang ini untuk mengobati penyakit kulit, dan penggunaannya dikatakan dapat mempercepat proses penyembuhan ruam. Di Korea modern, kelabang ini digunakan untuk mengobati berbagai masalah kesehatan seperti sakit punggung dan bisul.
Kelabang berkepala merah Cina dianggap sebagai penyembuh ajaib tidak hanya karena kegunaan tradisionalnya tetapi juga karena khasiat biokimianya yang unik.
Seluruh tubuh kelabang berkepala merah Cina mengandung komponen bioaktif khusus, yang mungkin memiliki efek antibakteri dan antivirus yang signifikan. Menurut penelitian, lokasi sengatannya dianggap sebagai area terbaik untuk menyuntikkan eksotoksin, yang secara efektif melumpuhkan mangsanya dan memecah jaringan internalnya. Selain itu, racun kelabang mengandung sebanyak 26 jenis neurotoksin. Racun ini memiliki struktur yang berbeda dan sangat berbeda dari komponen racun hewan berbisa lainnya seperti laba-laba dan ular.
Banyak dokumen medis kuno yang mencatat khasiat kelabang berkepala merah Tiongkok. Dalam penjelasannya tentang pengobatan penyakit, kelabang sering digunakan bersama dengan obat-obatan lain.
Dalam pengobatan tradisional Korea, kelabang banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti radang sendi, stroke, dan epilepsi. Hal ini menjadikan mereka salah satu organisme obat yang umum. Di Tiongkok, hanya Scolopendra mutilans yang diakui sebagai spesies kelabang untuk penggunaan klinis oleh Farmakope Tiongkok. Meskipun demikian, beberapa spesies kelabang lain sering digunakan sebagai pengganti. Dalam praktik pengobatan ini, kesamaan khasiat antara keduanya telah menyebabkan para peneliti mengajukan pertanyaan tentang apakah keduanya dapat digunakan secara bergantian, yang selanjutnya memicu diskusi tentang khasiat dan kandungan masing-masing.
Penelitian telah menunjukkan bahwa komponen kelabang ini memiliki potensi aplikasi dalam pengobatan kanker. Ekstraknya telah menunjukkan hasil yang baik dalam mengendalikan proliferasi sel kanker hati dan dapat memperkuat respons imun. Selain itu, peptida antimikroba yang diekstrak dari kelabang, seperti skolopendrasin VII, ditemukan memiliki efek penghambatan yang signifikan pada berbagai bakteri dan jamur.
Penelitian kontemporer mengingatkan kita bahwa selain pengobatan, nilai gizi kelabang tidak dapat diabaikan karena kandungan protein dan lemaknya yang kaya serta nilai gizi potensialnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa ilmuwan telah mulai mengeksplorasi nilai gizi kelabang berkepala merah Tiongkok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelabang mengandung hingga 55% protein kasar dan 26% hingga 30% lemak, sehingga memberikan prospek aplikasi yang lebih luas dalam pengobatan tradisional dan modern. Namun, pada saat yang sama, toksisitas kelabang dan kemungkinan reaksi alergi yang ditimbulkannya juga membatasi penggunaannya, dan penggunaannya tetap harus hati-hati.
Secara keseluruhan, keunikan kelabang berkepala merah Tiongkok tidak hanya tercermin dalam sifat biokimia racunnya, tetapi juga dalam kebiasaan hidupnya yang unik dan hubungan dekatnya dengan manusia. Sementara kearifan kuno terus berlanjut, sains modern memungkinkan kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang potensi makhluk yang menakjubkan ini.
Dengan penelitian dan eksplorasi lebih lanjut tentang kelabang ini, dapatkah kita benar-benar mengungkap sepenuhnya peran penyembuhan ajaibnya dalam pengobatan tradisional?