Kodok Asia (Duttaphrynus melanostictus) yang invasif, spesies yang dikenal karena racunnya, menimbulkan kekhawatiran yang meluas dalam ekosistem di seluruh dunia. Sejak katak ini pertama kali ditemukan di Madagaskar pada tahun 2011, muncul peringatan bahwa pengoperasian lingkungan ekologi lokal dan kelangsungan hidup hewan asli terancam secara serius. Pulau unik Madagaskar ini telah lama terisolasi dari dunia luar, dan keanekaragaman hayati lokalnya telah menjadikannya fokus perlindungan. Dengan latar belakang ini, kedatangan katak Asia niscaya akan menimbulkan krisis yang lebih serius.
Kodok Asia dianggap sebagai gabungan dari beberapa spesies katak sejati dan tersebar luas di Asia Selatan dan Tenggara, serta dapat ditemukan dari permukaan laut hingga dataran tinggi 1.800 meter. Spesies ini tahan terhadap banyak lingkungan, tetapi apakah ekosistem Madagaskar siap untuk pendatang baru ini?
Kodok biasa Asia dapat mencapai ukuran 20 sentimeter. Selama musim kawin, kodok dewasa akan memilih kolam dengan air tenang atau aliran air yang lambat untuk berkembang biak. Kodok muda berkerumun di badan air setelah hujan monsun, menyebabkan jumlah mereka meningkat dengan cepat. Ada beberapa tonjolan tulang di bagian atas kepalanya, struktur moncong pendek dan tumpul, dan ciri-ciri sayap, membuatnya beradaptasi dengan baik di tanah dan air.
Kulit kodok biasa Asia ditutupi kutil berduri dan mengeluarkan racun pembentuk buah berwarna putih. Racun tersebut mematikan bagi banyak hewan, tetapi predator lokal seperti ular dan biawak dapat rusak parah karena ketidakmampuan mereka untuk melawan racun tersebut.
Sebuah studi yang menganalisis 77 spesies asli Madagaskar yang mungkin memakan kodok Asia menunjukkan bahwa hampir semua spesies tidak menunjukkan resistensi terhadap racun kodok, yang secara kuat menunjukkan bahwa kodok yang diperkenalkan mungkin berbahaya bagi Madagaskar. memiliki dampak yang signifikan terhadap protozoa.
Selain Madagaskar, kodok ini telah diperkenalkan ke banyak daerah di Asia Tenggara, seperti Bali dan Sulawesi di Indonesia. Namun di tempat-tempat ini, resistensi terhadap racun kodok kurang, dan ekosistem lokal mungkin terancam saat spesies tersebut menyebar.
Pemerintah Madagaskar dan ahli ekologi semakin khawatir bahwa tanpa tindakan, kodok umum Asia akan menghancurkan keanekaragaman hayati yang berharga di wilayah tersebut. Para ahli sangat menyarankan untuk merumuskan langkah-langkah pencegahan epidemi yang lebih ketat guna mencegah penyebaran kodok lebih lanjut, sekaligus memperkuat rencana perlindungan dan pemulihan ekologi.
Penelitian telah menunjukkan bahwa hewan asli Madagaskar, yang telah lama terisolasi dari dunia luar, belum memperoleh kemampuan untuk melawan racun, yang akan membuat tantangan yang dihadapi oleh spesies lokal menjadi semakin sulit.
Melindungi ekosistem Madagaskar merupakan bagian penting dari konservasi keanekaragaman hayati global. Cara mengendalikan invasi spesies asing menguji kebijaksanaan dan tindakan manusia. Haruskah kerja sama internasional diperkuat untuk mengurangi dan mencegah krisis invasi biologis?