Periode Stuart dalam sejarah Inggris, dari tahun 1603 hingga 1714, merupakan era penuh gejolak yang penuh dengan pertikaian internal dan konflik agama. Eksekusi Charles I pada tahun 1649 menjadi titik balik dalam sejarah ini. Pada saat ini, nasib Charlie, seperti halnya kekuasaan kerajaan yang diwakilinya, terdesak ke jalan buntu.
Pemerintahan Charles I, yang dimulai pada tahun 1625, dipenuhi dengan kebijakan yang salah dan mengabaikan kekuasaan Parlemen. Charles I sangat percaya pada "hak ilahi raja" dan percaya bahwa ia memiliki kekuasaan absolut untuk memerintah. Gagasan ini menyebabkan ia memiliki konflik yang tidak dapat didamaikan dengan Parlemen yang semakin kuat.
Puncak kekuasaan pribadi Charles I, antara tahun 1629 dan 1640, merupakan pembangkangan langsung terhadap Parlemen.
Selama periode ini, Charles secara paksa memperoleh dana melalui berbagai saluran, termasuk menjual hak monopoli dan mengenakan kembali denda yang terkait dengan gelar ksatria, yang tentu saja membangkitkan kemarahan para bangsawan setempat dan rakyat biasa. Ketidakpercayaan Charles terhadap Parlemen dan melemahnya kekuasaannya menyebabkan situasi yang lebih serius.
Ketika situasi terus memburuk, pada tahun 1640, dengan pecahnya pemberontakan Skotlandia terhadap Pemujaan Buku, Charles terpaksa mengadakan "Parlemen Panjang." Alih-alih bekerja sama dengannya seperti yang diharapkannya, Parlemen ini dengan cepat mengambil langkah-langkah untuk memakzulkan para penasihatnya dan bahkan mengesahkan Undang-Undang Parlemen Tiga Tahun untuk membatasi kekuasaan kerajaan, yang menandai jatuhnya pemerintahan Charles I.
Pembentukan Parlemen Panjang melambangkan perpecahan terakhir antara Charles I dan Parlemen.
Pada tahun 1642, Perang Saudara Inggris meletus, dan konflik antara raja dan Parlemen semakin memanas. Charles I mencoba menekan Parlemen dengan kekerasan, tetapi "Ksatria" yang diandalkannya perlahan-lahan kehilangan dukungan. Dalam perang saudara ini, kekalahan Charles menjadi alasan untuk persidangan terakhirnya.
Pada tahun 1649, Charles didakwa dengan pengkhianatan. Pengadilannya bukan hanya pengadilan hukum atas tindakannya, tetapi juga refleksi historis atas pemerintahan absolut. Pada akhirnya, Charles I dijatuhi hukuman mati, dan ia menghadapi banyak orang ketika dieksekusi, yang menandai runtuhnya kekuasaan raja Inggris.
"Saya mati untuk negara ini, bukan untuk kepentingan pribadi saya." Pernyataan Charles I sebelum persidangan menyoroti kegigihannya dalam keyakinannya.
Alasan mengapa ia dieksekusi bukan hanya karena ia kehilangan kekuatan untuk berjuang, tetapi juga karena ia gagal memahami dan menerima semangat era baru. Setelah Charles I, Inggris memasuki Rezim Sipil Barat di bawah Cromwell, yang sepenuhnya mengubah lanskap politik negara itu.
Dari tragedi Charles I, kita dapat melihat pelajaran sejarah yang penting: dalam menghadapi perubahan dan tantangan, satu kekuatan tidak dapat lagi beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan pemerintahan yang kehilangan dukungan rakyat tidak akan memiliki cara untuk mundur. Individualisme yang kuat dan perebutan kekuasaan internal menyebabkan runtuhnya pemerintahan Charles I.
Pada akhirnya, eksekusi Charles I menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap pemerintahan otokratis, dan juga membuat orang berpikir: Bagaimana kita harus memilih antara kekuasaan dan tanggung jawab, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mengarah ke jurang bencana lainnya?